Minggu, 13 Juli 2008

REVITALISASI e-GOVERNMENT PADA DEPDAGRI (dan PEMDA)


A.PENDAHULUAN

Teknologi Informasi adalah suatu teknologi yang digunakan untuk mengolah data, termasuk memproses, mendapatkan, menyusun, menyimpan, memanipulasi data dalam berbagai cara untuk menghasilkan informasi yang berkualitas, yaitu informasi yang relevan, akurat dan tepat waktu, yang digunakan untuk keperluan pribadi, bisnis, dan pemerintahan dan merupakan informasi yang strategis untuk pengambilan keputusan. Teknologi ini menggunakan komputer untuk mengolah data, sistem jaringan untuk menghubungkan komputer dengan komputer lainnya sesuai dengan kebutuhan, dan teknologi telekomunikasi digunakan agar data dapat disebar dan diakses secara global.

Peran yang dapat diberikan oleh aplikasi teknologi informasi ini adalah mendapatkan informasi untuk kehidupan pribadi seperti informasi tentang kesehatan, hobi, rekreasi, dan rohani. Kemudian untuk profesi seperti sains, teknologi, perdagangan, berita bisnis, dan asosiasi profesi. Sarana kerjasama antara pribadi atau kelompok yang satu dengan pribadi atau kelompok yang lainnya tanpa mengenal batas jarak dan waktu, negara, ras, kelas ekonomi, ideologi atau faktor lainnya yang dapat menghambat bertukar pikiran.

Perkembangan Teknologi Informasi memacu suatu cara baru dalam kehidupan, yang dapat meningkatkan kinerja dan memungkinkan berbagai kegiatan dapat dilaksanakan dengan cepat, tepat dan akurat, sehingga akhirnya akan meningkatkan produktivitas. Kehidupan seperti ini dikenal dengan e-life, artinya kehidupan ini sudah dipengaruhi oleh berbagai kebutuhan secara elektronik. Dan sekarang ini sedang semarak dengan berbagai huruf yang dimulai dengan awalan e, seperti e-commerce, e-government, e-education, e-library, e-journal, e-edicine, e-laboratory, e-biodiversitiy, dan yang lainnya lagi yang berbasis elektronika. Oleh karenanya di dalam arus gencarnya globalisasi, demokratisasi dan perkembangan teknologi komunikasi dan informasi (ICT), kita tidak dapat melepaskan diri dari tuntutan penerapan ICT untuk meningkatkan layanan pemerintah kepada warganya. Dengan perubahan lingkungan strategis dan kemajuan teknologi tersebut mendorong aparatur pemerintah untuk mengantisipasi paradigma baru dengan upaya peningkatan kinerja birokrasi serta perbaikan pelayanan menuju terwujudnya pemerintahan yang baik (good governance). Salah satu sarana peningkatan layanan tersebut adalah electronic government (e-government).

Hal terpenting yang harus dicermati adalah sektor pemerintah merupakan pendorong serta fasilitator dalam keberhasilan berbagai kegiatan pembangunan. Oleh karena itu keberhasilan pembangunan harus didukung oleh kecepatan arus data dan informasi antar instansi agar terjadi keterpaduan sistem antara pemerintah dengan pihak penggunan lainnya. Upaya percepatan penerapan e- Government, masih menemui kendala karena saat ini belum semua daerah menyelenggarakannya. Apalagi masih ada anggapan e-Government hanya membuat web site saja dan sosialisasinya tidak terlaksana dengan optimal.

Namun dengan telah diresmikannya pembentukan Dewan Teknologi Informasi dan Komunikasi Nsional dalam pertengahan November 2006 baru-baru ini, diharapkan pembangunan sistem informasi pemerintahan terpadu ini akan dapat dipercepat realisasinya. Kendati demikian yang terpenting adalah menghapus ”opini salah” yang menganggap penerapan e-Government ini sebagai sebuah proyek, padahal merupakan sebuah sistem yang akan memadukan subsistem yang tersebar di seluruh daerah dan departemen.

Di Departemen Dalam Negeri serta banyak Pemda saat ini telah mempunyai situs web (www........... .go.id), Meskipun demikian, pemikiran pengembangan e–government untuk penyelenggaraan pemerintahan dalam negeri dan otonomi daerah yang didasarkan pada prinsip-prinsip good governance (partisipasi masyarakat, tegaknya supremasi hukum, transparansi, peduli pada stakeholders, berorientasi pada konsensus, kesetaraan, efektifitas dan efisiensi, akuntabilitas, serta visi strategis), hendaknya difokuskan pada beberapa hal penting, yaitu:
(1) kesesuaian visi dan strategi pengembangan e -government dengan visi dan strategi pengembangan daerah yang bersangkutan,
(2) tahapan pengembangan e -government di pemda yang bersangkutan, dan
(3) persiapan persyaratan keberhasilan e-government di pemda tersebut.

Sejalan dengan maksud tersebut, perlu difahami “apa dan mengapa tentang e-government” dan dilengkapi dengan materi tentang ”ide-ide atau pemikiran penerapan e-government dalam pemerintahan dalam negeri/pemerintahan daerah untuk penyelenggaraan tugas-tugas pelayanan publik, perlindungan hak-hak sipil, pembangunan serta penyelenggaraan kebijakan yang efektif dalam rangka otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab”.

B. PEMAHAMAN E-GOVERNMENT

B.1. Definisi E-Government :


Banyak ditemui variasi definisi e-government, tapi definisi-definisi tersebut kurang lebih sama. E-Government berkaitan dengan penggunaan teknologi informasi (seperti:wide area network, internet, dan komunikasi bergerak) oleh lembaga pemerintah yang mempunyai kemampuan untuk mentransformasikan hubungan Pemerintah dengan warganya, pelaku dunia usaha (bisnis), dan lembaga pemerintah lainnya. Teknologi ini dapat mempunyai tujuan yang beragam, antara lain: pemberian layanan pemerintahan yang lebih baik kepada warganya, peningkatan interaksi dengan dunia usaha dan industri, pemberdayaan masyarakat melalui akses informasi, atau manajemen pemerintahan yang lebih efisien. Hasil yang diharapkan dapat berupa pengurangan korupsi, peningkatan transparansi, peningkatan kenyamanan, pertambahan pendapatan dan/atau pengurangan biaya. (Sumber: Situs Web Bank Dunia, Juni 2002).
E-government mengacu pada penggunaan teknologi informasi oleh pemerintahan, seperti menggunakan intranet dan internet, yang mempunyai kemampuan menghubungkan keperluan penduduk, bisnis, dan kegiatan lainnya. Bisa merupakan suatu proses transaksi bisnis antara publik dengan pemerintah melalui sistem otomasi dan jaringan internet, lebih umum lagi dikenal sebagai world wide web.

Pada intinya e-government adalah penggunaan teknologi informasi yang dapat meningkatkan hubungan antara pemerintah dan pihak-pihak lain. penggunaan teknologi informasi ini kemudian menghasilkan hubungan bentuk baru seperti: G2C (Governmet to Citizen), G2B (Government to Business), dan G2G (Government to Government).

E-Government bertujuan untuk meningkatkan interaksi antar pelaku. E-Government diartikan sebagai penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (ICT) untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas, transparansi, dan akuntabilitas layanan pemerintahan. Alat tujuan obyek Business to business (B2B): transaksi antar bisnis lebih efisien. Business to Customers (B2C): terasa lebih dekat. Government to Customers (G2C). Government to Business (G2B). Antar lembaga pemerintah/Government to Government (G2G) G2C, G2B, G2G lebih akrab, nyaman, transparan, dan murah. Antar warga masyarakat (C2C).

B.2. Manfaat e-government yang dapat dirasakan, antara lain:

(1) Pelayanan (”services”) yang lebih baik kepada masyarakat. Informasi dapat disediakan 24 jam sehari, 7 hari dalam seminggu, tanpa harus menunggu dibukanya kantor. Informasi dapat dicari dari kantor, rumah, tanpa harus secara fisik datang ke kantor pemerintahan.

(2) Peningkatan hubungan antara pemerintah, pelaku bisnis, dan masyarakat umum. Adanya keterbukaan (transparansi) maka diharapkan hubungan antara berbagai pihak menjadi lebih baik. Keterbukaan ini menghilangkan saling curiga dan kekesalan dari semua pihak.

(3) Pemberdayaan masyarakat melalui informasi yang mudah diperoleh. Dengan adanya informasi yang mencukupi, masyarakat akan belajar untuk dapat menentukan pilihannya. Sebagai contoh, data-data tentang sekolah: jumlah kelas, daya tampung murid, passing grade, dan sebagainya, dapat ditampilkan secara online dan digunakan oleh orang tua untuk memilihkan sekolah yang pas untuk anaknya.

(4) Pelaksanaan pemerintahan yang lebih efisien. Sebagai contoh, koordinasi pemerintahan dapat dilakukan melalui e-mail atau bahkan video conference. Bagi Indonesia yang luas areanya sangat besar, hal ini sangat membantu. Tanya jawab, koordinasi, diskusi antara pimpinan daerah dapat dilakukan tanpa kesemuanya harus berada pada lokasi fisik yang sama. Tidak lagi semua harus terbang ke Jakarta untuk pertemuan yang hanya berlangsung satu atau dua jam saja.

Tuntutan masyarakat akan pemerintahan yang baik sudah sangat mendesak untuk dilaksanakan oleh aparatur pemerintah. Salah satu solusi yang diperlukan adalah keterpaduan sistem penyelenggaraan pemerintah melalui jaringan sistem informasi on- line antar instansi pemerintah baik pusat dan daerah untuk mengakses seluruh data dan informasi terutama yang berhubungan dengan pelayanan publik.

Disamping cara interaksi tradisional, e-government memberi kemudahan bagi warga dan dunia usaha untuk mengakses layanan pemerintah. Dalam hal ini, terdapat beberapa macam cara atau alur interaksi dari pengguna layanan ke pemberi layanan (Pemerintah).

B.3. Kiat-kiat menuju E-Government yang Unggul :

Agar kita dapat berhasil dan unggul dalam penerapan e-government, maka perlu kita simak nasehat dalam publikasi the Harvard Policy Group (2000). Menurut nasehat tersebut, kita perlu melakukan 8 (delapan) hal, yaitu:

1.Fokuskan pada cara teknologi informasi dapat mengarahkan bentuk kegiatan dan strategi dalam sektor publik.

2.Gunakan teknologi informasi bagi inovasi strategis, bukan hanya otomasi kegiatan taktis.

3.Manfaatkan pengalaman-pengalaman terbaik (best practices) dalam menerapkan inisiatif pemanfaatan teknologi informasi. Contoh best practices antara lain: di Australia , di Singapura , di AS yang ditangani swasta dan .

4.Tingkatkan anggaran dan pendanaan bagi inisiatif pemanfaatan teknologi informasi yang menjanjikan (mempunyai harapan keberhasilan).

5.Lindungi privasi dan sekuriti.

6.Bentuk dan kembangkan kerjasama berkaitan dengan teknologi informasi untuk mendorong pembangunan ekonomi.

7.Gunakan teknologi informasi untuk mempromosikan keadilan dalam peluang kerja dan kesejahteraan masyarakat.

8.Persiapkan diri terhadap berkembangnya demokrasi digital (demokrasi dalam era digital).
Tindakan ke 1 sampai 4 mendukung transisi ke layanan elektronis, sedangkan tindakan ke 5 sampai 8 akan menjawab tantangan yang sedang timbul dalam kepemerintahan.
Melengkapi kiat-kiat di atas, menurut Accenture (2001: 8-9), ada 5 (lima) karaktaristik e-government yang unggul, yaitu:

(1) Visi dan Implementasi: mempunyai visi sejak awal dan mekanisme implementasi yang baik/tepat.

(2) Berorientasi ke Pengguna/Warga masyarakat: pada umumnya, di awal pengembangan e-government, informasi yang dipublikasikan disusun dan diorganisasikan dengan mempertimbangkan cara pemerintah bekerja dan memberikan layanan secara fisik. Pada e-government yang unggul, layanan kepada publik atau warga masyarakat dirancang dengan mempertimbangkan kemauan dan cara berpikir masyarakat umum, bukan berdasar cara kerja lembaga-lembaga pemerintah. Dalam berkomunikasi dengan Pemerintah lewat e-government, masyarakat tidak perlu tahu struktur organisasi dan tata laksana pemerintah. Misal: untuk aplikasi IMB, cukup diklik tombol aplikasi, yang juga untuk layanan aplikasi-aplikasi lainnya (tidak perlu tahu instansi yang mengurusinya lalu mengklik tombol instansi tersebut).

(3) Menggunakan Manajemen Hubungan Masyarakat (Customer Relationship Management/ CRM): Humas pemerintahan bergeser fungsinya bagaikan humas dalam perusahaan jasa, dengan menggunakan teknik-teknik manajemen informasi pengguna jasa, pemasaran, meminimalkan duplikasi pengumpulan informasi dan pembuatan profil perilaku pengguna jasa dalam rangka memprediksi kebutuhan di masa depan.

(4) Volume dan Kompleksitas/kerumitan: mampu menangani volume informasi yang besar dengan kompleksitas tinggi (tapi masih nyaman dan nampak sederhana atau tidak rumit bagi pengguna).

(5) Penggunaan Portal sebagai satu pintu masuk: memudahkan bagi pengguna/warga masyarakat dengan tidak perlu mengunjungi situs tiap instansi, cukup satu situs sebagai pintu masuk (portal) untuik mendapatkan semua layanan yang diperlukan. Contoh: e-Citizen Portal Layanan dari Pemerintah Singapura untuk warganya (www.ecitizen.gov.sg).

Lebih lanjut Accenture (2001: 10-15) menyarankan:

(1) Tujuan yang pada awalnya dipasang sering lebih cepat tercapai, sehingga perlu ditetapkan tujuan yang lebih manantang dan memotivasi pengembangan lebih lanjut. Contohnya: tujuan yang paling “dangkal” yang menyebutkan setiap instansi mempunyai situs web akan segera tercapai dalam waktu singkat. Bila tujuan dirumuskan untuk jangka panjang, maka perlu rumusan sasaran-sasaran atau tujuan antara.

(2) Agar cepat mencapai keunggulan, e-government perlu dikembangkaan dengan strategi “berpikir besar, mulai dengan yang kecil, dan ditingkatkan secara cepat” (thinking big, starting small and scaling fast).

B.4. Pengembangan lebih lanjut e-government menjadi e-governance:

Dalam pengembangan e-government, kita perlu mempertimbangkan bahwa e-government dapat dikembangkan lebih lanjut dan lebih luas ke e-governance.
Menurut Heeks (2001a: 2), e -governance diartikan sebagai pemanfaatan ICT untuk mendukung pemerintahan yang baik (good governance). Lebih lanjut dijelaskan bahwa e -governance mencakup:

(1) e-Administration: untuk memperbaiki proses pemerintahan dengan menghemat beaya, dengan mengelola kinerja, dengan membangun koneksi strategis dalam pemerintah sendiri, dan dengan menciptakan pemberdayaan.

(2) e-Citizen & e-Services: menghubungkan warga masyarakat dengan Pemerintah dengan cara berbicara dengan warga dan mendukung akuntabilitas, dengan mendengarkan masyarakat dan mendukung demokrasi, dan dengan meningkatkan layanan publik.

(3) e-Society: membangun interaksi di luar pemerintah dengan bekerja secara lebih baik dengan pihak bisnis, dengan mengembangkan masyarakat, dengan membangun kerjasama dengan pemerintah, dan dengan membangun masyarakat madani.
Dalam hal ini, menurut Heeks (2001b: 3), terdapat 3 (tiga) cara potensial bagi pemerintah untuk berkembang, yaitu:

(1) Otomasi: Mengganti proses pengumpulan, penyimpanan, pengolahan, penyampaian hasil atau informasi yang dilakukan oleh tenaga manusia dengan proses dengan teknologi komunikasi dan informasi. Misal: otomasi fungsi klerikal (tata usaha) yang ada.

(2) Informatisasi: mendukung proses yang kini dilakukan dengan tenaga manusia. Misal: pengambilan keputusan beserta pengkomunikasian dan implementasinya.

(3) Transformasi: menciptakan proses baru pengolahan informasi yang dijalankan dengan ICT atau mendukung proses baru pengolahan informasi yang dijalankan oleh tenaga manusia. E-government dalam jangka panjang akan merubah cara kerja pemerintah, menggeser cara kerja tradisional dengan cara kerja elektronis yang lebih efisien dan efektif.
Dengan ketiga cara tersebut diharapkan pemerintahan dapat lebih efisien, dalam arti dapat lebih murah, dapat berbuat lebih banyak, dan dapat bekerja lebih cepat. Selain itu, pemerintahan diharapkan dapat lebih efektif, dalam arti: dapat bekerja lebih baik dan inovatif.

B.5. Pengembangan E-Government perlu mempunyai Visi/Tujuan dan Strategi yang jelas dan terkait dengan Pembangunan Daerah:

Pengembangan e-government perlu disesuaikan dengan visi, misi, strategi dan program pembangunan wilayahnya, atau dengan kata lain pengembangan e-government perlu mempunyai tujuan dan agenda yang jelas. Misal dengan tantangan global (seperti memasuki era Pasar Bebas Asean, dst) dan kebutuhan untuk menarik investor maupun wisatawan maka pemerintah daerah perlu mengalokasikan anggaran yang cukup untuk pengembangan e-government di daerahnya masing-masing.

Sebagai contoh: Visi e-government Singapura: “To be a leading e-Government to better serve the nation in the Digital Economy”, dengan program strateginya meliputi: “(1) knowledge-based workplace, (2) electronic service delivery, (3) technology experimentation, (4) operational efficiency improvement, (5) adaptive and robust infocomm infrastructure, and (6) infocomm education” (Swee & Virginia, 2002).

Tanpa masuk ke teknologi e-government, pemerintahan daerah kita akan terisolasi dan tertinggal dalam dunia dengan pembedaan digital (digital divide). Selain itu, revolusi informasi yang didukung dengan pesatnya perkembangan ICT juga telah terjadi di luar bidang pemerintahan, yaitu antara lain dalam bentuk: e-banking, e-commerce, distance education, dan sebagainya.

Dengan demikian kesesuaian visi dan strategi pengembangan E-Government Pemda dengan visi dan strategi Pengembangan Daerah menjadi sangat menentukan. Seperti tertera dalam Propeda suatu daerah, misalnya visi pembangunan daerah tersebut mengarah pada pembangunan daerah sebagai pusat pendidikan, pusat budaya, dan daerah tujuan wisata.

Strategi pembangunan daerah tersebut dalam jangka menengah meliputi empat butir, yaitu: (1) menanggulangi pengangguran dan kemiskinan dengan menciptakan lapangan kerja dan usaha bagi masyarakat miskin, (2) menyiapkan perangkat lunak dan perangkat keras serta aparatur pemerintah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, (3) menjamin kehandalan ketahanan pangan yang merata kepada segenap masyarakat di suatu daerah, dan (4) mengantisipasi dan menanggulangi dampak bencana, baik bersifat fisik maupun nonfisik yg terencana dengan baik.
Terkait dengan visi dan strategi pembangunan daerah tersebut maka e -government di Pemda tersebut perlu mempunyai visi (misalnya): “unggul dalam layanan publik dalam mendukung pewujudan daerah tersebut sebagai pusat pendidikan, pusat budaya, dan daerah tujuan wisata disamping mampu melayani warganya dengan baik, menarik investasi dan mendorong penciptaan lapangan kerja serta meningkatkan kerjasama antar wilayah dan antar lembaga pemerintah”.

Berdasar visi tersebut dapat dirumuskan pengguna e-government terdiri dari: (i) warga masyarakat secara umum, (ii) pelajar, mahasiswa dan pihak-pihak terkait dengan pendidikan, (iii) budayawan dan pihak-pihak yang terkait, (iv) wisatawan, calon wisatawan, dan pihak-pihak terkait, (v) calon investor, (vii) dunia usaha dan industri, dan (vii) lembaga-lembaga pemerintah.

Ketujuh macam pengguna ini dapat mewarnai rancangan “e-Citizen Portal” Pemda, dalam arti pada layar pertama terdapat tujuh tombol yang dapat dipilih sesuai dengan macam pengguna. Selanjutnya, tiap macam pengguna dilayani sesuai kebutuhannya masing-masing tanpa mereka perlu tahu cara kerja pemerintah dalam melayani mereka; dengan kata lain pengguna menghadapi Pemerintah sebagai “holistik” (tanpa perlu tahu nama instansi yang melayaninya).

B.6. Tingkatan Layanan atau Tahapan Pengembangan E-Government :

Pengembangan e-government dapat dilakukan dalam beberapa tahap atau tingkatan. Secara umum ada tiga tahapan pengembangan layanan e-government, sebagai berikut:

Tahap I : Menerbitkan Informasi tentang diri sendiri bagi kepentingan warga dan kalangan bisnis (lewat website) dan juga menyediakan fasilitas komunikasi dua arah (e-government dikembangkan sebagai internally-networked public-service provider) .

Tahap II : Aplikasi Intranet yang memungkinkan data dapat dikumpulkan (online), diolah, dan disebarluaskan dalam bentuk baru (agar lebih efisien); meskipun sebagian proses pemberian servis tetap secara offline, publik dapat memantau kinerja secara online (e-government dikembangkan menjadi externally-networked public-service provider).

Tahap III : Aplikasi Extranet yang memungkinkan warga wilayah dapat mengisi blanko aplikasi secara online (lewat internet) atau searah dengan lompatan ke externally-networked economic development oriented.

Berkaitan dengan pembangunan daerah, diusulkan tahapan pengembangan, sebagai berikut:

a.“Sekedar menjalankan kewajiban” sebagai penyedia layanan publik, tapi sudah mulai dilewatkan jaringan komputer (LAN/WAN).

b.Penyediaan layanan publik dilewatkan internet (dapat diakses dari manapun).
1)PUBLIKASI: layanan penyediaan informasi utk pengguna.
2)INTERAKSI: layanan pencarian dan pengambilan informasi berdasar kriteria dari pengguna.
3)TRANSAKSI: layanan pencarian informasi, pembelian produk dan pengisian formulir utk diproses (misal: mengisi dan membayar pajak).

c.Menuju layanan yg berorientasi pada pembangunan ekonomi nasional jangka panjang (layanan pada kalangan bisnis, pemasok, dan lembaga pemerintah lainnya)—layanannya dilewatkan LAN/WAN; belum semuanya lewat internet (ekstranet).

d.Berorientasi ke pembangunan ekonomi jangka panjang dan semua layanannya lewat internet (ekstranet).

Pembangunan e-government di daerah-daerah sebetulnya telah diawali dengan pembangunan berbagai sistem informasi di beberapa instansi perangkat daerah/lembaga teknis daerah serta tersedianya pusat layanan satu atap. Keadaan ini tinggal dikembangkan lebih lanjut dengan membangun kerangka besar pengembangan jaringan kerja internal (“berfikir besar”) dan membangun tiap sistem informasi yang diperlukan serta perangkat jaringannya.

Pendekatan “layanan satu atap” perlu tetap dipegang dalam layanan tahap pertama ini, dalam arti pengguna jasa tidak perlu tahu lokasi asal dan cara kerja layanan itu diberikan; yang perlu diketahui: pengguna datang ke pusat layanan satu atap dan mendapat layanan sesuai jenis layanan yang diperlukan (bukan sesuai nama instansi).

Tahap berikutnya akan mudah dilakukan dengan meluasnya prasarana jaringan komunikasi data di masa depan (ini perlu didukung dengan perencanaan) karena pengembangan e-government pada masing-masing pemda perlu segera diwujudkan guna mendukung pengembangan perekonomian daerah.

B.7. Persiapan Persyaratan Keberhasilan E-Government di Pemerintahan Daerah:

Mengacu persyaratan yang dijelaskan oleh Heeks (2001b: 17-19), kesiapan menuju keberhasilan e-government berkaitan dengan: (i) infrastruktur sistem data, (ii) infrastruktur legal/hukum, (iii) infrastruktur kelembagaan, (iv) infrastruktur SDM, (v) infrastruktur teknologi, dan (vi) kepemimpinan dan pemikiran strategis.

Dari 6 (enam) persyaratan tersebut, kita dapat berfokus pada empat daripadanya, yaitu:

(1) Infrastruktur legal/hukum: perlu ada perangkat hukum untuk menangkal kejahatan digital, serta melindungi privasi, sekuriti data/informasi, dan transaksi digital perorangan, perusahaan dan lembaga pemerintah.

(2) Infrastruktur kelembagaan: e-government tidak hanya terbatas pada publikasi informasi, maka suatu instansi layanan informasi daerah tidaklah cukup dan instansi tersebut nantinya perlu dikembangkan menjadi suatu instansi yang menangani e-government dalam tingkatan yang juga memberi layanan transaksi digital.

(3) Infrastruktur SDM: sistem kepegawaian perlu dapat dikembangkan agar mampu menarik SDM berkualitas profesional dalam bidang ICT untuk ikut berkiprah dalam e-government milik pemerintah.

(4) Infrastruktur teknologi: meskipun teknologi yang diperlukan relatif mahal, tapi peluang kerjasama dengan swasta perlu dikembangkan dalam membangun infrastruktur teknologi untuk mendukung e–government.

C. PENGEMBANGAN E-GOVERNMENT DEPARTEMEN DALAM NEGERI

C.1. Pembinaan penyelenggaraan pemerintahan daerah:


Tugas yang dilakukan Departemen Dalam Negeri kepada penyelenggaraan pemerintahan daerah (terkait dengan urusan pemerintahan umum, pembangunan daerah, pemberdayaan masyarakat dan desa, administrasi keuangan daerah, administrasi kependudukan, serta kesatuan bangsa dan politik) antara lain adalah “Pembinaan dan Pengawasan”. Sesuai bunyi pasal 217 dan pasal 218 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, meliputi :
1. Koordinasi Pemerintah antar Susunan Pemerintahan;
2. Pemberian Pedoman dan Standar Pelaksanaan Urusan Pemerintahan;
3. Pemberian Bimbingan, Supervisi dan Konsultasi Pelaksanaan Urusan Pemerintahan;
4. Pendidikan dan Pelatihan;
5. Perencanaan, Penelitian & Pengembangan, Pemantauan dan Evaluasi Pelaksanaan Urusan Pemerintahan.

Untuk pelayanan publik, penyelenggaraannya berada pada masing-masing pemda, namun kebijakan dan standarisasi difasilitasi/dikoordinasikan penyelenggaraannya oleh Departemen Dalam Negeri sebagai sarana pembinaan dan pengawasan.

C.2. Permasalahan penyelenggaraan pemerintahan daerah dan otonomi daerah:

1. Administrasi Kependudukan (Single Identity Number) dan Pelayanan Publik (Reformasi Birokrasi) ;
2. Dinamika Penyelenggaraan Pilkada Langsung ;
3. Pemilu 2009 , Partai Politik Lokal dan Pendidikan Politik untuk Konstituen ;
4. Konflik, Dinamika - Stabilisasi Politik serta Ancaman Disintegrasi Bangsa (NKRI) ;
5. Wawasan Kebangsaan dalam Perspektif Lokal; dan Kehidupan Berdemokrasi ;
6. Penyiapan Rencana Induk Penanganan Wilayah Perbatasan Antar Negara ;
7. Penanganan Batas Wilayah (Antar Daerah dan Dengan Negara / Asing), Pulau Terluar serta Penamaan Pulau ;
8. Tindak Lanjut Pengaturan Kewenangan yang diotonomikan ke Daerah (Turunan dari UU. No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah) ;
9. Otonomi Khusus, yaitu terkait dengan dinamika pengelolaan Dana Otsus Papua; Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Pasca UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh; DI.Yogyakarta; DKI-Jakarta;
10. Pemekaran Daerah; Pertumbuhan Wilayah berciri Perkotaan kurang terfasilitasi;
11. Pembangunan Kawasan Ekonomi dan Komoditas Unggulan Daerah;
12. Eksploitasi Sumberdaya Alam yang merusak Lingkungan/ merugikan Masyarakat;
13. Kewenangan Penyelenggaraan Pemerintahan Kecamatan ;
14. Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah;
15. Penanggulangan Bencana;
16. Pengentasan Kemiskinan dan Bantuan Langsung Tunai;
17. Kenaikan BBM dan pengaruhnya kepada Daya Beli Masyarakat;
18. Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat ;
19. Otonomi Desa; Perangkat Desa dan Kelurahan, Kelembagaan Desa, BUMDes ; Alokasi Dana Desa; Komoditias Unggulan Desa, dll;
20. Hubungan Eksekutif dengan Legislatif ;
21. Kapasitas Kelembagaan Pemerintah Daerah ;
22. Keuangan Daerah (Mekanisme Pengusulan, Pencairan, dan Pertanggungjawaban);
23. Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan (TP) dari Sektoral kepada Daerah;
24. Anggaran Berbasis Kinerja dan LAKIP;
25. Investasi Daerah, BUMD dan Kerjasama Antar Daerah, dst.

C.3. Sistem Informasi dan Website yang telah ada :

Sistem Informasi dan database yang sudah ada, meliputi : Siskomdagri, SIM-Kepegawaian, SIM-Bangda/Potensi Daerah, SIAK, SIM-Bina Keuangan Daerah, dst. Sementara Website yang telah terbangun, mulai dari www.depdagri. go.id dan telah diikuti hampir oleh semua komponen unit kerja eselon-1., namun untuk penyelenggaraan surat elektronik, dirasakan belum efektif dan belum membudaya di antara para pejabat/pegawai.

Permasalahan penting adalah pada kelemahan infrastruktur jaringan komunikasi data yang ada, budaya penggunaan ICT, serta belum efektifnya upaya memaduserasikan sistem transaksi dan pertukaran data-informasi (baik dari sumber data dasar, maupun antar komponen) serta masih lemahnya pengembangan sistem yang terpadu dan holistik.

Untuk memantapkan dan mengembangkan e-government yang ada di lingkungan Departemen Dalam Negeri, setidaknya perlu dikaji ulang visi dan strategi pendayagunaan ICT dalam konteks sistem informasi dan website yang ada terhadap visi dan strategi/kebijakan Departemen Dalam Negeri dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri dan otonomi daerah untuk selanjutnya dilakukan pembenahan melalui tahapan teknis (“engineering”) yang benar untuk menghindari “over investment atau under investment”.

C.4. Langkah-langkah Stratejik yang Diperlukan :

Langkah-langkah penting yang harus dilakukan :

1. Inventarisasi dan identifikasi terhadap semua Sistem Informasi dan Database System yang telah ada di masing-masing komponen Departemen Dalam Negeri (bila diperlukan, juga diinventarisasi dan diidentifikasi pemda-pemda, tapi itu bisa setelah internal Departemen Dalam Negeri selesai dan berfungsi baik).

2. Inventarisasi dan identifikasi serta merancang kebutuhan data-informasi Menteri Dalam Negeri dan Sekretaris Jenderal untuk menjalankan misi (tugas pokok dan fungsi) sebagai ”top management” di lingkungan Departemen Dalam Negeri.

3. Inventarisasi dan merumuskan permasalahan stratejik dan teknis untuk mewujudkan kondisi ideal Butir 2.

4. Merancang Sistem Informasi Eksekutif Departemen Dalam Negeri dengan menata sistem yang sudah ada di Pusdatinkom dan memanfaatkan semua Sistem Informasi dan Database System yang telah ada di masing-masing komponen dengan mengusulkan kegiatan-kegiatan pembenahan yang benar-benar diperlukan dan dapat diterima serta didukung pimpinan sebagai program kegiatan stratejik, dalam arti mampu memfasilitasi pasokan data – informasi yang efektif dan efisien (”valid and reliable”, terjamin kekiniannya – ”updated’ dan kelangsungannya, aman-”secure” dan nyaman-”convinience”).

Produk langkah Butir 1, 2 dan 3 disebut sebagai ”Road Map” Sistem Informasi dan Komunikasi Departemen Dalam Negeri.

Produk langkah Butir 4. inilah yang disebut sebagai ”Blue Print” Sistem Informasi dan Komunikasi Departemen Dalam Negeri, yang akan berisi :
a. Arsitektur data-informasi (jenis, sumber, alur dan waktu);
b. Arsitektur teknologi informasi dan komunikasi; dan dilengkapi dengan
c. Framework of InformationTechnology Infrastructure Library.

D. PENUTUP

1. Kebutuhan untuk merevitalisasi Sistem Informasi dan Komunikasi Depatemen Dalam Negeri (dan daerah-daerah) sangat dipengaruhi oleh kemampuan sumber daya manusia dalam memahami komponen teknologi informasi dan komunikasi, seperti perangkat keras dan perangkat lunak komputer; sistem jaringan baik berupa LAN ataupun WAN dan sistem telekomunikasi yang akan digunakan untuk mentransfer data. Kebutuhan akan tenaga yang berbasis teknologi informasi dan komunikasi (ICT) masih terus meningkat.

2. Diperlukan suatu kerangka teknologi informasi nasional (‘blue print”) untuk e-government di lingkungan Departemen Dalam Negeri dan Pemerintahan Daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan yang bertumpu pada pelayanan, perlindungan, dan pembangunan menunuju pemberdayaan masyarakat dengan menyediakan fasilitas akses terhadap informasi kepada masyarakat luas secara adil dan merata, serta dapat meningkatkan koordinasi dan pendayagunaan informasi secara optimal, meningkatkan efisiensi dan produktivitas, meningkatkan kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia, meningkatkan pemanfaatan infrastruktur teknologi informasi, termasuk penerapan peraturan perundang-undangan yang mendukungnya; yang pada gilirannya mampu mendorong pertumbuhan ekonomi dengan pemanfaatan dan pengembangan teknologi informasi.

3.Sebagai penutup, perlu kita sadari bahwa kemajuan ICT sangat pesat dan sering tidak dapat diterka dengan tepat, sehingga visi atau tujuan yang kita rumuskan sering perlu selalu direvisi. Hal ini senada dengan tulisan Accenture (2001: 12) bahwa “government online is moving up the maturity curve, but still has a long way to travel”.


Daftar Pustaka:
1.Harvard Policy Group. 2000. Eight Imperatives for Leaders in a Networked World:Guideliness for the 2000 Election and Beyond. John F. Kennedy School of Government, Harvard University, Cambridge, MA (http://www.ksg.harvard.edu/ stratcom/hpg).
2. Heeks, Richard. 2001a. Building e -Governance for Development: A Framework for National and Donor Action. i-Government Working Paper Series, Paper No. 12, Institute for Development Policy and Management, University of Manchester, Manchester, UK (http://www.man.ac.uk/idpm/idpm_dp.htm#ig).
3. Heeks, Richard. 2001b. Understanding e -Governance for Development. i-Government Working Paper Series, Paper No. 11, Institute for Development Policy and Management, University of Manchester, Manchester, UK (http://www.man.ac.uk/idpm/idpm_dp.htm#ig).
4. PIU UK. 2000. Electronic Government Services for the 21st Century. Performance and Innovation Unit, Cabinet Office, UK, London (http://www.cabinet-office.gov.uk/innovation).
5. Swee & Virginia. 2002. Competing and Collaborating in the Information Age. Institute of Systems Science, National University of Singapore, dalam presentasinya untuk Eisenhower Fellowship IT Executive Program, 20 Juni 2002 di Singapura.


Daftar Situs Web:
1. Accenture. 2001. e-Government Leadership: Rhetoric vs. Reality – Closing the Gap. , April 2001.
2. Bank Dunia. Juni 2002. E-Goverment: A Definition of E-Government. Diakses dari , tanggal 19 Juni 2002.

__________________________
Ditulis Oleh:
Ir. Mohammad Noval

KEBERADAAN BADAN LITBANG DAERAH DITINJAU DARI PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 38 TAHUN 2007 DAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 41 TAHUN 2007



Oleh : Prof.DR. Ngadisah, MA.
(KEPALA BADAN LITBANG DEPDAGRI)
Disampaikan pada Acara :
Rapat Koordinasi Daerah (RAKORDA)
Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sulawesi Tengah
Palu, 19 Nopember 2007

Pendahuluan

Dipahami bersama bahwa realitas penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang berkembang secara dinamis sesuai tuntuntan perkembangan dan aspirasi masyarakat, secara langsung akan berdampak pada perubahan tatanan di berbagai aspek antara lain ekonomi, politik dan sosial budaya baik di tingkat regional maupun nasional. Dinamika perubahan tersebut tidak terlepas dari kendala dan permasalahan yang akan muncul dan memerlukan pemecahan secara tepat dan cepat. Semua itu diperlukan pengamatan, indikasi permasalahan, dan kebijakan serta kebajikan dalam menyikapinya. Hal demikian itu akan mendorong untuk selalu membiasakan berpikir secara sistematis dalam menghadapi dan menyelesaikan permasalahan tersebut. Pada posisi inilah keberadaan peran dan fungsi penelitian sangat diperlukan, terutama dalam segenap penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan.

Pelibatan peran dan fungsi penelitian dan pengembangan dalam segala bidang merupakan hal yang mutlak dilakukan apabila bangsa kita memiliki keinginan kuat untuk merubah tatanan hidup bernegara secara lebih baik dan kondusif untuk mampu bersaing dengan negara-negara maju lainnya. Akan tetapi realitas dorongan dan upaya meningkatkan peran penelitian dan pengembangan yang ada saat ini, dinilai masih berproses secara lamban, baik secara fungsional maupun institusional.

Penelitian dan pengembangan dalam garis besarnya mempunyai dua arti penting yaitu penemuan (invention) dan pembaharuan (inovation). Kemajuan-kemajuan yang telah dicapai dan dinikmati oleh umat manusia tidak terlepas dari peranan penelitian dan pengembangan tersebut. Sejalan dengan kemajuan-kemajuan yang telah dicapai, dewasa ini telah terjadi pergeseran fokus manajemen dari O&M (Organization and Management) kepada R&D (Research and Development). Oleh sebab itu, peran penelitian dan pengembangan pada era dewasa ini sangat mutlak diperlukan, pada lembaga pemerintah maupun swasta.

Dalam kaitan tersebut peran penelitian dan pengembangan pada institusi pemerintah, dalam hal ini pemerintah daerah sudah sepatutnya didorong menjadi bagian penting turut mewarnai perumusan kebijakan, agar kebijakan-kebijakan pemerintah daerah dalam bentuk program-program pembangunan, peningkatan kualitas pelayanan publik dan pemberdayaan masyarakat mampu meningkatkan kinerja penyelenggaraan pemerintahan dan percepatan otonomi daerah.

Hal tersebut menjadi penting karena dalam menyelenggarakan kebijakan dan strategi dituntut untuk dapat menampung aspirasi masyarakat, yang utamanya untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat menuju masyarakat yang sejahtera, berkehidupan yang demokratis dengan nilai-nilai dasar hak asasi manusia (HAM) yang terjamin perlindungannya.

Dengan demikian mengedepankan peran dan fungsi kelembagaan penelitian dan pengembangan di segenap tingkatan Pemerintah Daerah, merupakan satu langkah yang tepat untuk memanfaatkan peluang dalam membangun kapasitas lembaga penelitian dan pengembangan menjadi lembaga yang berwibawa.

Fungsi Strategis Penelitian dan Pengembangan Dalam Penetapan Kebijakan Daerah

Menghadapi permasalahan yang timbul sebagai implikasi penerapan otonomi daerah, sesungguhnya memiliki dimensi yang luas dan bersifat komplikatif, khususnya menyangkut aspek-aspek penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Dalam kapasitas peran atau fungsinya, pada kenyataannya penyelenggara pemerintahan harus berada di tengah persoalan yang terjadi dan berkembang secara nasional dan di hampir semua daerah saat ini.

Peran Pemerintah harus mampu menjadi motivator dan fasilitator yang handal dalam upaya percepatan otonomi daerah, sekaligus menjadi mediator bagi kepentingan hajat hidup masyarakat secara luas. Ini semua tentunya dapat diwujudkan melalui suatu kearifan dalam perumusan langkah dan kebijakan yang secara berkualitas dapat menjadi payung dan tuntunan pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan di era otonomi daerah saat ini. Untuk dapat menghasilkan kebijakan yang berdaya guna dan berhasil guna, seyogianya didasarkan atas hasil-hasil litbang, karena tanpa didukung oleh hasil-hasil litbang kebijakan yang diambil sering tidak berusia lama dan mudah digoyang. Hal ini disinyalir penetapan kebijakan itu tidak didasarkan atas hasil-hasil penelitian maupun kajian.

Untuk itu kebijakan yang akan ditetapkan sepatutnya merupakan kebijakan yang telah didasari atas pertimbangan input yang rasional, matang dan akurat. Dengan demikian dalam proses perumusan kebijakan, peran litbang menjadi sangat penting dan merupakan bagian dalam manajerial penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
Mengingat pentingnya hasil penelitian sebagai masukan dalam penyiapan kebijakan, maka ada beberapa pertimbangan yang perlu diperhatikan antara lain:
1. Kualitas kebijakan dalam perencanaan pembangunan daerah dapat lebih ditingkatkan, bila dilengkapi dengan masukan dan rekomedasi dari hasil penelitian dan pengembangan yang terfokus dan teliti,
2. Hasil penelitian dan pengembangan dapat memperkuat landasan proses pengambilan kebijakan strategis dilingkungan pemerintah daerah melalui penelitian, masukan dan rekomendasi dari hasil penelitian dan pengembangan empiris yang relevan dengan kebutuhan setempat, dan
3. Melalui kegiatan penelitian dan pengembangan, pelaksanaan otonomi daerah berikut kewenangannya yang ada dapat diwujudkan ke dalam suatu bentuk strategis dan arahan kebijakan yang mampu memicu kemampuan daerah secara mandiri.
Terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, telah memberikan kewenangan Pemerintah Daerah untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah (urusan wajib dan urusan pilihan) berdasarkan kriteria pembagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya.

Lebih lanjut dalam Pasal 7 Ayat (1) dan Ayat (2) dan Ayat (3) PP Nomor 38 Tahun 2007, menyebutkan urusan wajib yang diselenggarakan oleh pemerintah provinsi dan kabupaten/kota yang berkaitan dengan pelayanan dasar mencakup 26 urusan. Sedangkan urusan pilihan yang secara nyata dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah berjumlah 8 urusan yang meliputi : kelautan dan perikanan, pertanian, kehutanan, energi dan sumber daya mineral, pariwisata, industri, perdagangan, dan ketransmigrasian.

Implikasi terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut, Pemerintah Daerah memiliki kewenangan menyusun kebijakan daerah untuk memberikan pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Peran dan tanggungjawab pemerintah daerah sangat besar, oleh karena itu semakin besar tanggungjawab dan kewenangan membawa implikasi semakin banyak hal-hal yang dilakukan untuk mencari “pembenaran” yang rasional dan obyektif.
Hal ini dapat tercapai bila fungsi penelitian dan pengembangan dapat dikedepankan dan diperankan secara baik dalam manajerial penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Pembenaran rasional dan obyektif melalui kegiatan penelitian dan pengembangan yang semakin diperlukan tersebut dalam implementasinya seyogiyanya mengikuti kaidah manajemen modern, antara lain sebagai berikut :
a. Accountability; Pemerintah Daerah dituntut untuk lebih “accountable” kepada “stakeholders”. Kegiatan litbang yang berkualitas diperlukan untuk memberikan validasi dan legitimasi atas kebijakan Pemerintah Daerah.
b. Proactive; untuk menangkap peluang, mengindari ancaman, meningkatkan dan memanfaatkan kekuatan, serta mengeliminir kelemahan akan lebih terantisipasi dengan kegiatan penelitian dan pengembangan.
c. Value free; sudah menjadi kecenderungan bahwa kegiatan penelitian dan pengembangan akan kurang obyektif dan tidak bebas nilai dari kepentingan sipelaksana, jika dilaksanakan oleh organisasi pelaksana. Oleh karena itu agar lebih bebas nilai dan obyektif kegiatan penelitian dan pengembangan seyogyanya dilaksanakan lembaga tersendiri.
d. Comprehensive; kebijakan seyogyanya dipertimbangkan secara “comprehensive” atau bahkan dengan pelaksanaan oleh berbagai unit organisasi terkait secara terpadu dan terkoordinasi. Pertimbangan yang lengkap tersebut tidak melihat kepentingan “kotak-kotak organisasi” (borderless).

Sejalan dengan hal-hal tersebut di atas, terciptanya kondisi yang memungkinkan berkembangnya peran atau fungsi penelitian dan pengembangan di daerah, diupayakan langkah-langkah penataan kelembagaannya, dan sumber daya manusia dan anggaran yang merupakan penunjang dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsi lembaga tersebut.

Keberadaan Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Balitbangda) Dalam Organisasi Perangkat Daerah

Keberadaan Balitbangda yang tersebar di Provinsi dan Kabupaten berjumlah sebanyak 23 di Provinsi dan 45 Kabupaten/Kota. Dalam perkembangan lebih lanjut jumlahnya mengalami penurunan menjadi 21 di Provinsi dan 40 di Kabupaten/Kota. Penurunan jumlah Badan Litbang, baik pada tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota, sesungguhnya bukan karena keberadaan Badan Litbang tidak penting, tetapi adanya kekecewaan terhadap hasil kerja yang kurang optimal karena keterbatasan internal Balitbang.

Penguatan keberadaan Balitbangda dapat merujuk pada peraturan perundang-undangan lainnya, yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang secara eksplisit terdapat dalam pasal 120 ayat (1) dan ayat (2) disebutkan sebagai berikut :
(1) Perangkat Daerah Provinsi terdiri atas Sekretariat Daerah, Sekretariat DPRD, Dinas Daerah dan Lembaga Teknis Daerah.
(2) Perangkat Daerah Kabupaten/Kota terdiri atas Sekretariat Daerah, Sekretariat DPRD, Dinas Daerah dan Lembaga Teknis Daerah, Kecamatan dan Kelurahan.

Selanjutnya dalam pasal 125 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) disebutkan bahwa :
(1) Lembaga teknis daerah merupakan unsur pendukung tugas kepala daerah dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah yang bersifat spesifik berbentuk badan, kantor, atau rumah sakit umum daerah.
(2) Badan, kantor atau rumah sakit umum daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh kepala badan, kepala kantor, atau kepala rumah sakit umum daerah yang diangkat oleh kepala daerah dari pegawai negeri sipil yang memenuhi syarat atas usul Sekretaris Daerah.
(3) Kepala badan, kantor, atau rumah sakit umum daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bertanggung jawab kepada kepala daerah melalui Sekretaris Daerah.

Dalam pasal 8 ayat (3) UU 18 Tahun 2002 Sistem Nasional Penelitian Pengembangan dan Penerapan Iptek, menyatakan lembaga litbang dapat berupa organisasi yang berdiri sendiri, atau bagian dari organisasi pemerintah daerah, bukan merupakan bagian dari Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD).

Pada tataran peran strategisnya amanat yang tersirat dalam UU No. 18 Tahun 2002 pasal 20 ayat (1) dan pasal 21 ayat (4) UU menyebutkan bahwa fungsi Pemerintah Daerah yaitu menumbuhkembangkan motivasi, memberikan simulasi dan fasilitasi serta menciptakan iklim yang kondusif bagi pertumbuhan dan sinergi unsur kelembagaan, sumber daya, dan jaringan Iptek di wilayah pemerintahannya sebagai bagian yang tak terpisahkan dari Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Iptek. Dengan demikian keberadaan Badan Litbang di daerah sudah tepat dan perlu terus ditingkatkan kinerjanya.

Lebih lanjut dalam amanat yang terkandung dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2006 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, bahwa pembinaan penyelenggaraan pemerintahan daerah yaitu penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah (Gubernur, Bupati/Walikota dan Perangkat Daerah) beserta DPRD, semata-mata ditujukan dalam rangka pencapaian tujuan penyelenggaraan otonomi daerah sebagaimana dimaksudkan dalam UU No. 32 Tahun 2004.

Pembinaan tersebut diperlukan seiring dengan keleluasaan/ kewenangan daerah untuk merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan kebijakan daerah. Dengan demikian pemerintah daerah harus mampu menghasilkan kebijakan-kebijakan daerah secara berkualitas, disinilah peran “Litbang” harus dikedepankan.

Ditinjau dari aspek legal, Pemerintah memiliki kewenangan untuk melakukan berbagai bentuk fasilitasi dan pembinaan kepada daerah dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah. Dalam konteks ini, institusi penelitian dan pengembangan Pemerintah (Departemen/LPND) dapat saja memberikan fasilitasi dan pembinaan kepada Balitbangda dalam kaitannya dengan pelaksanaan tugas-tugas penelitian dan pengembangan di daerah.

Keberadaan Balitbangda ditinjau dari PP Nomor 41 Tahun 2007

Lahirnya PP Nomor 41 Tahun 2007 menimbulkan multi tafsir terhadap kelangsungan keberadaan Badan Litbang Daerah, antara lain dalam penjelasan pasal 22 ayat (5) mencontohkan bahwa perumpunan urusan pemerintahan yang terdiri dari urusan wajib dan fungsi pendukung yang dapat digabung dalam satu perangkat daerah berbentuk badan dan/atau kantor, misalnya urusan perencanaan pembangunan digabung dengan urusan penelitian dan pengembangan.

Penjelasan Pasal 22 ayat (5), ini sangat berpotensi melikuidasi Balitbangda dan digabungkan ke Bappeda, sementara kedua lembaga tersebut mempunyai fungsi yang berbeda. Baitbangda adalah fungsi pendukung semua unit kerja dan unsur pimpinan dalam pengambilan keputusan yang mempunya tugas-tugas spesifik dan dan Balitbangda bekerja secara profesional.

Terkait dengan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya sebagaimana disebutkan dalam pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam bahwa: Penelitian, pengembangan, pemantauan dan evaluasi atas penyelenggaraan pemerintahan daerah harus mengacu pada pasal 2 ayat (1) huruf e yang meliputi kewenangan, kelembagaan, kepegawaian, keuangan, pengelolaan aset lembaga pemerintah non departemen, DPRD, pelayanan publik dan kebijakan daerah. Dengan acuan pasal 2 tersebut, penjelasan kebijakan daerah sangat membutuhkan rekomendasi dari Balitbangda. Dengan demikian Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 pasal 22 ayat (5) tidak sejalan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tersebut.

Disisi lain permasalahan implementasi PP Nomor 41 Tahun 2007 yang merupakan pedoman, arahan, dalam mendistribusikan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah ke dalam Unit-unit Kerja atau Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di tingkat Provinsi, Kabupaten dan Kota serta untuk memetakan SKPD, ternyata keberadaan Balitbangda masih nampak kurang tegas eksistensinya untuk diwujudkan/ direalisasikan, apalagi dalam penjelasan pasal 22 ayat (5) yang menyebutkan pemisalan atau pencotohan penggabungan Bappeda dengan Balitbangda yang tidak serumpun, padahal seharusnya penggabungan didasarkan pada perumpunan urusan seperti yang disebutkan dalam pasal 22 ayat (5), bukan seperti pada pasal penjelasannya.

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang sistem nasional penelitian dan pengembangan dan penerapan iptek (pasal 8 ayat (3) menyatakan bahwa lembaga litbang dapat berupa organisasi yang berdiri sendiri, atau bagian dari organisasi pemerintah daerah. Selanjutnya dalam Pasal 20 ayat (1) menyatakan fungsi pemerintah daerah yaitu menumbuhkembangkan motivasi, memberikan simulasi dan fasilitas, serta menciptakan iklim yang kondusif bagi pertumbuhan dan sinergi unsur kelembagaan, sumber daya dan jaringan ilmu pengetahuan dan teknologi di wilayah pemerintahanya sebagai bagian yang tak terpisahkan dari sistem nasional penelitian, pengembangan, dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pada pasal 21 ayat (1) mempertegas peran pemerintah daerah dalam mengembangkan instrumen kebijakan untuk melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 ayat (1). Kenyataannya pada PP 41 Tahun 2007 justru tidak mendukung arahan kebijakan UU 18 Tahun 2002 tersebut, sehingga hal ini akan menimbulkan kegamangan bagi Balitbangda yang sudah ada maupun bagi Pemerintah Daerah yang akan membentuk Balitbangda, yang akan mengarah pada penggabungan dengan unit kerja lain.

Mengingat Balitbangda merupakan salah satu unsur pendukung dan bersifat spesifik (UU 32/04 pasal 125 ayat 1 tersebut diatas) yang ditindaklanjuti dengan dengan PP 41 Tahun 2007 pasal 8 ayat (2) dan pasal 15 ayat (2) yang berbunyi lembaga teknis daerah mempunyai tugas melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah yang bersifat spesifik, maka sudah tepat dan sudah selayaknya Balitbangda dibentuk sebagai Badan yang berdiri sendiri.

Karena lahirnya PP 41 Tahun 2007 ternyata penjelasannya dalam pasal 22 ayat (5) tidak selaras dengan PP 79 Tahun 2005 maka agar selaras, pembentukan Balitbangda mengacu pada UU 18 Tahun 2002 pasal 8 ayat (3), serta pembinaan dan pengawasannya mengacu pada PP 79 Tahun 2005.

Dengan melihat dukungan pada UU 32 Tahun 2004 dan UU No. 18 Tahun 2002 walaupun dalam PP 41 Tahun 2007 tidak tegas dalam mempertahankan eksistensi litbang, seharusnya pemerintah daerah tidak usah ragu untuk tetap mempertahankan keberadaan Balitbangda. Disisi lain bagi pemerintah daerah yang belum membentuk Balitbangda agar segera membentuk Balitbangda karena tidak bertentangan dengan regulasi yang ada.

Terbitnya PP 41 Tahun 2007 memang sudah sangat tepat dalam rangka pembentukan Balitbangda karena:
1. Pasal 15 ayat (2) menyatakan dengan tegas lembaga teknis daerah mempunyai tugas melaksanakan tugas penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah yang bersifat spesifik, salah satu pekerjaan yang bersifat spesifik berada pada Balitbangda.
2. Pasal 22 ayat (5) perumpunan urusan bappeda merupakan rumpun yang berbeda dengan Balitbangda, ironisnya pasal tersebut tidak sinkron dengan penjelasannya khususnya dalam ayat (5) yang menyebutkan pemisalan atau pencotohan penggabungan bappeda dengan Balitbangda yang tidak serumpun sehingga pembentukan Balitbangda tidak usah mengacu pada pasal penjelasan tetapi mengacu pada pasal induk.
3. Pasal 45 ayat (1) menyebutkan bahwa dalam rangka melaksanakan tugas dan fungsi sebagai pelaksanaan peraturan perundangundangan dan tugas pemerintahan umum lainnya, pemerintah daerah dapat membentuk lembaga lain sebagai bagian dari perangkat pemerintahan daerah, sehingga Balitbangda juga harus dibentuk menjadi salah satu LTD (lembaga lain yang juga merupakan bagian dari perangkat pemerintahan daerah) .
4. Pasal 49 dan pasal 50 ayat (1) dimaksud bahwa di lingkungan pemerintah daerah ditetapkan jabatan fungsional sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan Balitbangda juga ada pejabat fungsional peneliti yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Keberadaan jabatan fungsional ini kedepan, sangat penting artinya dalam upaya rasonalisasi organisasi (pengurangan jabatan struktural

Peningkatan Peran dan Fungsi Balitbangda

1. Kebijakan Umum

Sebagai lembaga yang bertugas melaksanakan dan mengkoordinasikan seluruh kegiatan penelitian dan pengembangan adalah merupakan legitimasi manajerial terhadap arti pentingnya aspek penelitian dan pengembangan sebagai proses awal dalam mendesain kebijakan publik dalam format penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang dinamis.

Mensikapi terhadap berbagai perangkat peraturan perundang-undangan terkait dengan bidang kelitbangan, hendaknya dapat ditindaklanjuti dengan penyiapan instrumen kebijakan sebagai penjabaran lebih lanjut dalam rangka mendudukkan fungsionalisasi kelembagaan litbang secara baik, yang pada gilirannya akan menciptakan fungsi manajerial sesuai dengan harapan dan keinginan atas kebijakan peraturan perundang-undangan tersebut. Untuk itu diperlukan persepsi dan kepentingan yang sama bagi seluruh instrumen lembaga kelitbangan baik di tingkat Pusat maupun Daerah dalam memberdayakan fungsi penelitian dan pengembangan.

Berkaitan dengan keberadaan, peran dan fungsi Balitbangda, maka perlu dirumuskan kebijakan umum dan berbagai program-program strategis di bidang penelitian dan pengembangan yang menjadi domain tugas pokok dan fungsinya. Kebijakan umum pada intinya untuk meningkatkan dan melakukan pembenahan kapasitas internal, yang dibarengi dengan kemampuan untuk meningkatkan koordinasi dengan stakeholder terkait, antara lain yaitu sebagai berikut :
a. Mendayagunakan seluruh hasil rekomendasi kegiatan penelitian agar dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dan masukan dalam proses pengambilan kebijakan.
b. Mengembangkan kepekaan aparat lembaga litbang terhadap perkembangan kondisi dan lingkungan strategis dan bersifat aktual.
c. Menyusun berbagai langkah dalam rangka penggalangan kegiatan kerjasama penelitian dengan lembaga-lembaga penelitian lainnya.
d. Meningkatkan intensitas kegiatan koordinasi dengan unit kerja maupun lembaga-lembaga penelitian lainnya dalam rangka perencanaan program dan kegiatan penelitian dan pengembangan.
e. Memotivasi seluruh aparat lembaga litbang untuk membangun budaya kerja secara profesional, yang mampu mendorong peningkatan peran dan fungsi penelitian dan pengembangan.
f. Melengkapi fasilitas kerja (prasarana dan sarana kantor) guna menunjang kelancaran pelaksanaan tugas, termasuk sarana dan prasarana.
g. Mendorong peningkatan kapasitas dan profesionalisme SDM Aparat melalui keikutsertaan dalam berbagai kesempatan diklat dan kursus struktural/ fungsional, serta kegiatan-kegiatan seminar, lokakarya, workshop dan sejenisnya.

Program-program strategis yang disusun diletakkan dalam kerangka waktu dan pentahapan yang jelas, yakni :
a. Dalam jangka pendek, berkaitan dengan transisional otonomi daerah, maka program-program strategis hendaknya diarahkan kepada kegiatan penelitian dan pengembangan yang strategis yang utamanya dalam mendukung kebijakan penyelenggaraan otonomi daerah.
b. Dalam jangka menengah, berkaitan dengan proses pembangunan daerah, program-program strategis Badan Litbang Daerah diarahkan kepada beberapa kajian pembangunan seperti, memprediksi sasaran pencapaian indikator-indikator makro daerah, kajian aspek spasial berupa pengembangan wilayah secara terpadu (integrated regional development), dan ketiga, kajian aspek sektoral yang berupa prioritas sektor pembangunan yang mampu mengisi dan terintegrasi secara utuh dengan konsep spasialnya. Dokumen kajian pembangunan tersebut pada akhirnya merupakan panduan strategis bagi lembaga perencanaan dalam memformulasikan kedalam program pembangunan daerah secara bertahap, baik dalam kerangka lima tahunan (RPJM) maupun tahunan (RKPD).
c. Dalam jangka panjang, program-program strategis Badan Litbang Daerah diarahkan kepada tersusun dan tersedianya berbagai dokumen, perangkat (tools), dan informasi yang mampu mendukung pengembangan potensi daerah sekaligus mampu mengantisipasi berbagai problematika daerah dalam jangka panjang. Secara praktis, kebutuhan-kebutuhan pendukung tersebut adalah tersedianya berbagai standar, sistem dan regulasi, berbagai perangkat analisis, dan berbagai data dasar (baik numerik dan spasial) yang merupakan minimum requirement, yang notabene sangat diperlukan dalam mengelola daerah itu sendiri.

2. Upaya dan langkah-langkah
Memahami berbagai persoalan tentang keberadaan Balitbangda, maka seyogianya kita harus mampu memberikan pandangan secara jernih terhadap segala persoalan yang ada. Pada intinya kita harus kembali pada filosofi otonomi daerah yang telah memberikan peluang yang besar kepada Pemerintah Daerah dalam pengambilan keputusan strategis di Daerah, termasuk dalam hal pengaturan struktur organisasi di daerah.

Interpretasi yang mendalam terhadap makna tulisan ini diharapkan dapat merubah cara pandang atas keraguan keberadaan Balitbangda di era otonomi daerah saat ini.
Dalam kaitan tersebut, peran Pemerintah Daerah melalui dukungan politis-nya sangat diharapkan tidak hanya terbatas dalam pembentukan institusi Litbang saja, namun yang terpenting adalah bagaimana langkah-langkah pemberdayaan dan optimalisasi perannya, antara lain:
- Mendudukkan peran strategis Badan Litbang Daerah dalam organisasi dan mekanisme kerja pemerintah daerah secara luas, sehingga tidak terjadi duplikasi peran dan fungsi dengan unit-unit kerja lainnya di daerah;
- Agar dalam setiap Perda yang mengatur Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Daerah memuat secara jelas dan tegas tentang Tugas Pokok dan Fungsi serta Kewenangan Badan Litbang Daerah, yang menyatakan antara lain bahwa "Setiap Penyusunan Perda/Keputusan Kepala Daerah oleh Dinas/Badan Daerah sebelum ditetapkan, terlebih dahulu dilakukan Penelitian, Pengkajian, dan atau Pengembangan oleh Badan Litbang Daerah”.
- Untuk memenuhi kecukupan kualitas dan kuantitas SDM fungsional Peneliti yang sangat terbatas didaerah, maka diharapkan Kepala Daerah dapat mempersiapkan SDM dibidang Penelitian melalui penempatan Pegawai yang “concern” di bidang penelitian dan pengembangan, serta menguasai metodologi penelitian, dengan melakukan pendidikan dan pelatihan.
- Memahami masih minimnya dukungan anggaran untuk ketersediaan sarana dan prasarana yang harus dimiliki oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah, maka perlu ada dukungan dana/anggaran (minimal 1% dari APBD) yang sesuai dengan kebutuhan untuk menunjang kegiatan penelitian melalui pengalokasian dana/anggaran minimal 1% dari APBD.

Satu hal yang perlu ditekankan adalah bahwa implementasi kebijakan lingkup penelitian dan pengembangan harus dilakukan secara sinergi dan terkoordinasi oleh seluruh unsur Litbang terkait mulai dari tingkat Pusat hingga ke Daerah. Kerjasama yang baik antar stakeholders ini diyakini akan sangat mempengaruhi arah kebijakan dan langkah-langkah implementasi pengembangan institusi Litbang Daerah ke depan.

PENUTUP

Beberapa kendala dan permasalahan yang terus mengemuka di lingkungan Pemerintah Daerah berkenaan dengan keberadaan Balitbangda, perlu terus diupayakan untuk melakukan suatu peninjauan lebih dekat lagi terhadap pemikiran yang masih menjadi perhatian yaitu sebagai berikut:
a. Penguatan keberadaan yang jelas (Strong Eksistanced Need): Keberadaan Balitbangda dapat berperan dan berfungsi secara jelas dalam menyelenggarakan fungsinya sebagai koordinator dan pelaksanaan kegiatan kelitbangan di lingkungan Pemerintah Daerah dan dapat menunjang tugas-tugas unit kerja/instansi di lingkungan Pemerintah Daerah sebagai pemberi masukan dalam penyusunan kebijakan daerah.
b. Nilai Tambah: Akan ada nilai tambah (value-added) dari sebuah sistem manajemen pelayanan publik dalam pemberian masukan kebijakan bagi pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah.
c. Keberlanjutan (Sustainability): peran Balitbangda agar terus dipertahankan sebagiamana unit kerja/instansi/LTD yang lainnya baik pendanaan, dukungan teknis dan lain sebagainya.
d. Penerimaan dan Status: Pemerintah Daerah memerlukan Balitbangda, dan yang sudah terbentuk agar diakui keberadaannya dan sebagai mitra kerja, serta diperankan secara optimal, sehingga dengan cara demikian Balitbangda dapat dengan mudah memperoleh akses terhadap kegiatan-kegiatan yang menjadi tanggungjawab dan kewenangannya.
e. Ketersediaan (Availability): Untuk tugas-tugas yang menjadi kewenangannya, Balitbangda yang telah dibentuk di beberapa Provinsi dan Kab/Kota itu dapat membantu secara maksimal dengan dukungan Sumber Daya Manusia yang handal dan berkualitas beserta perangkatnya.
f. Tumpang-tindih (Overlap): Hindari kewenangan-kewenangn/bidang tugas Balitbangda yang tumpang-tindih dengan kewenangan atau tugas-tugas dari unit kerja/instansi/LTD di lingkungan pemerintah daerah.

Bila hal-hal tersebut di atas, sudah teratasi dengan baik, maka eksistensi Balitbangda akan dapat terwujud, sehingga persoalan yang selalu menjadikan suatu kegamangan yang dapat berdampak pada penurunan kinerja Balitbangda dapat teratasi dan keberadaanya tidak perlu dipersoalkan lagi.

Oleh karena itu, kita hendaknya sepakat dan membangun sebuat komitmen bersama yang konsisten di jajaran Pemerintah Pusat dan Daerah, yaitu mencoba untuk merekomendasikan suatu langkah yang khusus untuk penguatan dan upaya pemberdayaan Balitbangda. Disamping perlu dilakukan sebuah pendekatan yang konseptual guna menindaklanjuti lebih jauh lagi dalam upaya pemberdayaan Balitbangda pada saat ini dan yang akan datang.

Membangun kapasitas lembaga penelitian dan pengembangan merupakan upaya yang harus terus-menerus dilakukan dalam melaksanakan fungsi-fungsi secara tepat guna mencapai tujuan secara efektif dan efisien. Oleh karena itu bentuk-bentuk forum koordinasi seperti ini sangat tepat untuk mengangkat peran pentingnya lembaga penelitian dan pengembangan di daerah, utamanya untuk meningkatkan performa lembaga litbang menjadi lembaga yang “berwibawa”.

Demikian paparan ini, dengan harapan dapat menambah pemahaman dalam forum Rakorda Penelitian dan Pengembangan kali ini, khususnya dalam merumuskan langkah-langkah pemberdayaan institusi penelitian dan pengembangan di Provinsi Sulawesi Tengah yang akan datang.

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
DEPARTEMEN DALAM NEGERI

PENGEMBANGAN JEJARING LITBANG DALAM PENINGKATAN PERAN DAN FUNGSI LITBANG BAGI PEMBANGUNAN DAERAH (Tinjauan Kebijakan Depdagri)


Menghadapi dinamika reformasi dan otonomi daerah, maka perlu adanya penetapan strategi yang secara mantap mampu menghadapi segala gejala perubahan dimaksud. Strategi yang baik tentunya adalah strategi yang mampu merubah tantangan menjadi peluang, melalui dukungan penetapan strategi kebijakan nasional secara baik, serta mengakar pada kondisi dan kultur lokal secara kuat pula.

Pemerintah Daerah (Pemda) sebagai sub-sistem dari Pemerintahan RI, tentunya sangat diperlukan sebagai institusi Pemerintah dalam peng-implementasi-an kebijakan yang berbasis pada keseimbangan dan kebutuhan lokal. Besarnya peran Pemda ini menuntut perlunya kemampuan dan proporsionalitas dalam penetapan strategi kebijakan lokal.
Dalam kaitan tersebut, penyusunan perenca¬naan program dan kebijakan haruslah dilandasi oleh hasil-hasil penelitian, baik yang bersifat penelitian dasar maupun penelitian terapan.

Kekuatan unsur penelitian dan pengembangan (Litbang), terutama dalam segala lini dan sektor pemerintahan menjadi sangat strategik dan mengedepan. Dengan demikian peran dan fungsi Institusi Litbang hingga ke Daerah perlu diberdayakan dalam rangka memberikan kontribusi nyata bagi adanya perubahan tatanan hidup bernegara secara lebih baik dan kondusif.
Langkah-langkah strategik yang perlu dilakukan diantaranya adalah dengan mengembangkan konsep jejaring Litbang dalam rangka pencapaian visi dan misi Litbang secara lebih luas.

Kebijakan Litbang Departemen Dalam Negeri

Merujuk pada Kepmendagri Nomor 130 Tahun 2003 tentang Organisasi dan Tatakerja Departemen Dalam Negeri, Tugas pokok Badan Litbang Depdagri adalah melaksanakan penelitian dan pengembangan di bidang pemerintahan dalam negeri dan otonomi daerah, dengan fungsi utama perumusan dan pelaksanaan kebijakan teknis di bidang penyelenggaraan penelitian dan pengembangan:
- Kesatuan bangsa, politik dan pemerintahan umum;
- Otonomi daerah;
- Pemerintahan desa dan pemberdayaan masyarakat;
- Keuangan daerah;
- Pembangunan daerah dan kependudukan;

Sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya, maka telah ditetapkan visi Badan Litbang Depdagri yakni:
“Terwujudnya hasil penelitian dan pengembangan yang berkualitas sebagai bahan masukan dalam penetapan kebijakan strategis Departemen Dalam Negeri”.

Sebagai penjabaran lebih lanjut dari visi Badan Litbang sebagaimana disebutkan di atas, maka misi yang akan dilaksanakan untuk mewujudkan visi dimaksud adalah sebagai berikut:
a. Peningkatan kualitas dan kuantitas penelitian, kajian, dan telaahan strategis;
b. Peningkatan koordinasi kegiatan penelitian dan pengembangan di lingkungan Depdagri dan Pemerintah Daerah melalui konsolidasi hubungan kerja;
c. Peningkatan kelembagaan dan ketatalaksanaan Badan Penelitian dan Pengembangan dan Badan Litbang Daerah;
d. Peningkatan profesionalisme tenaga peneliti di lingkungan Badan Penelitian dan Pengembangan dan Pemerintah Daerah.
e. Sosialisasi hasil-hasil penelitian dan pengembangan.

Dalam rangka penjabaran visi dan misi Badan Litbang ke arah yang lebih bersifat implementatif, telah ditetapkan kebijakan strategis sebagai berikut:
a. Mendayagunakan seluruh hasil rekomendasi penelitian dalam proses pengambilan kebijakan.
b. Menggalang kerjasama penelitian antara Badan Litbang dengan lembaga-lembaga penelitian lainnya.
c. Meningkatkan koordinasi dalam rangka perencanaan program dan kegiatan penelitian dan pengembangan.
d. Mengembangkan pola-pola koordinasi, fasilitasi dan supervisi dalam rangka pembentukan dan/atau peningkatan peran dan fungsi Balitbangda.

Hubungan Antara Badan Litbang Depdagri Dan Litbang Departemen/LPND Dengan Pemerintah Daerah Dalam Penyelenggaraan Penelitian

Ditinjau dari aspek kelembagaan, beberapa rujukan peraturan perundang-undangan yang dapat dipedomani dalam kaitannya dengan penyelenggaraan fungsi Litbang, antara lain:

- UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 120 Ayat (1) dan (2), disebutkan bahwa Perangkat daerah provinsi dan Kabupaten/Kota terdiri atas sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah, dan lembaga teknis daerah. Secara teknis, hal ini diatur lebih lanjut oleh PP Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah pada Pasal 8 Ayat (1) – Ayat (3) dan Pasal 15 Ayat (1) – Ayat (3), serta Pasal 22 Ayat (5), dimana salah satu rumpun LTD dimaksud adalah bidang penelitian dan pengembangan.

- UU No. 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Pasal 20 Ayat (1) yang menyebutkan bahwa: “Pemerintah Daerah berfungsi menumbuhkembangkan motivasi, memberikan stimulasi dan fasilitas, serta menciptakan iklim yang kondusif bagi pertumbuhan, serta sinergi unsur kelembagaan, sumberdaya, dan jaringan Iptek di wilayah pemerintahannya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Iptek”. Dalam kapasitas ini, pada Pasal 21 Ayat (4) UU No. 18 Tahun 2002 kembali ditegaskan bahwa Pemerintah Daerah perlu membentuk Lembaga Litbang sebagai unit kerja pemerintah daerah.

Menindaklanjuti amanat tersebut, Badan Litbang Depdagri telah melakukan langkah-langkah strategis dalam rangka fasilitasi pembentukan dan peningkatan peran dan fungsi kelembagaan Litbang Daerah. Hingga saat ini telah terbentuk Institusi Litbang di 22 Provinsi, 35 Kabupaten dan 6 Kota. Langkah-langkah fasilitasi pemberdayaan terus diupayakan, khususnya terhadap 3 (tiga) aspek utama, yakni: aspek kelembagaan, aspek SDM personil, dan aspek program.

Dari aspek pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah, beberapa rujukan terkait penyelenggaraan fungsi penelitian dan pengembangan antara lain:

- UU Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 217 dan Pasal 218 mengamanatkan bahwa penelitian dan pengembangan merupakan salah satu aspek dalam penyelenggaraan pembinaan dan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan daerah. Posisi dan kedudukan penelitian dan pengembangan dalam fungsi pembinaan dan pengawasan tersebut sangatlah penting dan strategis, karena merupakan kunci keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan. Hasil-hasil penelitian dan pengembangan dapat dijadikan dasar kaji ulang (review) terhadap seluruh kebijakan dan program pembinaan dalam rangka optimalisasi dan keselarasan penyelenggaraan pemerintah daerah. Lebih lanjut berdasarkan Pasal 222, pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah secara Nasional dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri.

- Secara teknis telah diatur lebih lanjut oleh PP Nomor 79 Tahun 2007 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, pada Pasal 2 ditegaskan bahwa penelitian dan pengembangan merupakan salah unsur pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah. Selanjutnya dalam Pasal 14 dan Pasal 15 diatur bahwa Penelitian, pengembangan, pemantauan dan evaluasi atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dimaksud meliputi: kewenangan, kelembagaan, kepegawaian, keuangan, pengelolaan asset, Lembaga Pemerintah Non Departemen, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, pelayanan publik, dan kebijakan daerah. Menteri Negara/Pimpinan LPND sesuai dengan fungsi dan kewenangannya dapat melakukan penelitian dan pengembangan atau dapat dilimpahkan kepada Gubernur, Bupati/Walikota dikoordinasikan dengan Menteri Menteri Dalam Negeri. Adapun pelaksanaan penelitian dan pengembangan dimaksud dikoordinasikan dengan Menteri Menteri Dalam Negeri.

Merujuk pada keseluruhan aspek legal di atas, serta mengingat adanya keterkaitan bidang operasional kegiatan, maka hubungan antara institusi penelitian dan pengembangan Pusat (departemen/ LPND) dengan Daerah (Balitbangda) dapat saja berlangsung atas dasar kepentingan, tujuan dan sasaran tertentu yang diwujudkan dalam suatu bentuk kerjasama secara lebih melembaga melalui jejaring Litbang.

Perlunya Jejaring Litbang

Dalam prinsip manajemen moderen, suatu organisasi atau lembaga akan mampu memberikan hasil optimal apabila memiliki jejaring (networking) yang kuat.
Jejaring yang dimaksud di sini tentunya adalah 2 (dua) kelompok atau lebih organisasi yang membentuk suatu komunitas atau lembaga atas dasar keselarasan peran dan fungsi, ataupun tujuan dan sasaran yang ingin dicapai oleh masing-masing organisasi tersebut.

Kembali pada keberadaan Insitutsi Litbang, peran dan fungsi yang diembannya secara ekspektatif mengandung unsur-unsur fasilitator, organisator, konseptor, dan motivator yang memungkinkan adanya ruang gerak secara luas, sesuai kapasitas peran dan fungsinya tersebut. Hal ini pula yang menuntut perlunya membentuk jejaring antar mitra kerja Litbang secara lebih luas pula.

Dalam UU No. 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian Pengembangan dan Penerapan Iptek pada Pasal 15 Ayat (1) disebutkan bahwa: “Jaringan Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Iptek berfungsi membentuk jalinan hubungan interaktif yang memadukan unsur-unsur kelembagaan Iptek untuk menghasilkan kinerja dan manfaat yang lebih besar dari keseluruhan yang dapat dihasilkan oleh masing-masing unsur kelembagaan secara sendiri-sendiri”.

Selanjutnya dalam Pasal 15 Ayat (2) disebutkan bahwa: “untuk mengembangkan jaringan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), perguruan tinggi, lembaga litbang, badan usaha, dan lembaga penunjang wajib mengusahakan kemitraan dalam hubungan yang saling mengisi, melengkapi, memperkuat, dan menghindarkan terjadinya tumpang tindih yang merupakan pemborosan”.

Pertimbangan arti pentingnya jejaring Litbang antara lain sebagai berikut:
- sesuai dengan karakter Institusi Litbang yang sangat bersifat universal;
- sebagai sarana berbagi pengalaman dalam menghasilkan rekomendasi-rekomendasi secara lebih faktual;
- dapat memperkuat eksistensi Insitusi Litbang hingga ke Daerah melalui dukungan jalinan kerjasama.

Mekanisme Jejaring Kerja Litbang

Sasaran yang diharapkan dari terbentuknya suatu komunitas jejaring (Litbang), antara lain: terciptanya intensitas koordinasi, terciptanya peluang-peluang kerjasama, serta terbukanya ruang gerak untuk sinergi. Hal tersebut, tentunya perlu didasarkan atas kriteria-kriteria sebagai berikut:
a. Berorientasi pada keberhasilan program atas dasar kompetensi unsur-unsur yang bermitra.
b. Memiliki sasaran yang jelas dengan dibarengi oleh strategi pencapaian yang lebih bersifat implementatif.
Dalam hal ini tentunya sangat memerlukan peran aktif dari setiap unsur komunitas jejaring untuk saling fasilitasi sesuai dengan kapasitas dan kompetensinya secara proporsional.

Secara garis besar, peluang-peluang yang mungkin tercipta dalam suatu jejaring Litbang Pusat dan Litbang Daerah antara lain:
a. Program-program yang berorientasi pada fasilitasi Pusat, yakni program-program kerjasama yang memang bertujuan untuk mem-fasilitasi akitivitas program kelitbangan di Daerah.
b. Program-program yang berorientasi pada distribusi tugas, yakni, program-program kerjasama yang didasarkan atas prinsip-prinsip pembagian kerja/tugas dalam pencapaian sasaran tertentu.
Berbagai rancangan program kerjasama ini membuka peluang terhadap masuknya aspek-aspek pembiayaan dengan berbagai pertimbangan urgensi aktivitas, kompetensi lembaga, dan sebagainya.

Untuk langkah-langkah operasional lebih lanjut, masing-masing unsur yang saling bekerja sama menyusun rambu-rambu sesuai dengan kesepakatan atau merunut pada aturan/kebijakan yang telah baku untuk dipedomani bersama.

Program dan Kegiatan Badan Litbang Depdagri

Dalam rangka pelaksanaan tugas dan fungsinya, Badan Litbang Depdagri mengakui peran penting jejaring dalam rangka kontribusi input dalam penyusunan kebijakan strategis Pemerintah, serta fasilitasi penyelenggaraan kebijakan Pemerintah di Daerah. Untuk itu, Badan Litbang Depdagri telah menetapkan kebijakan program dan kegiatan sebagai berikut:

a. Kajian Nasional Penyelenggaraan Pemerintahan Dalam Negeri dan Otonomi Daerah (KANAL OTDA):
Yakni kegiatan kajian yang dilakukan dengan melibatkan peran kemitraan Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Balitbangda) atau Bappeda. Kegiatan ini juga diharapkan mampu menyerap aspirasi daerah dalam proses perumusan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan di tingkat Pusat. Topik-topik kajian diorientasikan kepada berbagai kebijakan Pusat yang dalam penerapannya diindikasikan menimbulkan dampak strategis secara nasional. KANAL OTDA ini mulai dilaksanakan pada tahun 2007 dengan menggunakan anggaran dari DIPA Badan Litbang Depdagri, dan masih terbatas pada beberapa daerah Provinsi.

b. Laboratorium dan Pusat Data Litbang (Labdata Litbang) Depdagri:
Salah satu tujuan utama dari kegiatan ini adalah untuk membangun jaringan e-government melalui penyediaan sistem data secara terpusat untuk menunjang tugas dan fungsi Litbang dalam penyiapan input kebijakan terkait penyelenggaraan pemerintahan dalam negeri dan otonomi daerah. Untuk itu juga diharapkan dapat terbangunnya sistem informasi dan sosialisasi hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah.

c. Fasilitasi Pemberdayaan Litbang:
Badan Litbang Depdagri terus mengupayakan fasilitasi terhadap pemberdayaan dan pembentukan Institusi Litbang Daerah (Balitbangda), baik melalui pelaksanaan kegiatan dan forum-forum rapat koordinasi maupun melalui penerbitan kebijakan kelitbangan, antara lain:
1. Rakornas Litbang; kegiatan ini bertujuan dalam rangka membahas dan merumuskan berbagai kebijakan terkait penyelenggaraan peran dan fungsi kelitbangan, khususnya ditinjau dari aspek-aspek: kelembagaan, SDM, Program dan Anggaran.
2. Koordinasi dan Fasilitasi Penyelenggaraan Litbang Dalam Rangka Perumusan Kebijakan Strategis (Dekonsentrasi); melalui kegiatan ini, diharapkan terjalin koordinasi dan pembinaan penyelenggaraan peran dan fungsi Litbang di Daerah, sekaligus manfaatnya untuk sinergi perumusan rekomendasi kebijakan melalui hasil-hasil penelitian dan kajian yang telah dilakukan di daerah. Dekonsentrasi pada 16 (enam belas) provinsi yang telah membentuk Balitbangda.
3. Penerbitan Kepmendagri Nomor 33 Tahun 2007 tentang Pedoman Penyelenggaraan Penelitian dan Pengembangan di Lingkungan Depdagri dan Pemerintah Daerah.
4. Fasilitasi terhadap eksistensi dan pembentukan Balitbangda sebagai tindak lanjut PP Nomor 41 Tahun 2007 melalui penerbitan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 061/2721/SJ perihal Balitbangda dalam Organisasi Pemerintahan Daerah.

Berbagai kebijakan program Badan Litbang Depdagri tersebut diharapkan mampu mendorong peningkatan kualitas hasil-hasil penelitian dan pengembangan kebijakan lingkup pemerintahan dalam negeri dan otonomi daerah, maupun dalam rangka peningkatan peran dan fungsi, serta pemberdayaan institusi Litbang di daerah.

Disusun Oleh: Mohammad Noval
Sebagai materi pada acara "Workshop Kebijakan Strategis Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan IPTEK Kota Semarang Tahun 2008-2011" di Semarang, 29 November 2007

Sabtu, 12 Juli 2008

HUBUNGAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DI DAERAH SPECIAL ECONOMIC ZONE (TINJAUAN TERHADAP KOTA BATAM)


“Hubungan Penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah Special Economic Zone” yang akan dibahas disini adalah untuk menyelaraskan dengan terminologi yang ada dalam UU No. 32 Tahun 2004.
Hubungan penyelenggaran Pemerintahan di Daerah “Special Economic Zone” merupakan salah satu issue strategik yang perlu mendapat perhatian secara lebih serius. Hal ini dimaksudkan dalam rangka optimalisasi penyelenggaraan kawasan khusus yang mengemban misi nasional tidak saja untuk kepentingan nasional tetapi juga bagi pembangunan daerah.

Diakui bahwa keberadaan kawasan khusus memiliki karakteristik dan pengaturan tersendiri, sebagaimana diakui dalam UU nomor 32 Tahun 2004, khususnya pada Pasal 9 Ayat (1), yaitu: “Untuk menyelenggarakan fungsi pemerintahan tertentu yang bersifat khusus bagi kepentingan nasional, Pemerintah dapat menetapkan kawasan khusus dalam wilayah provinsi dan/atau kabupaten/ kota”. Pengaturan terhadap kawasan khusus ini secara lebih lanjut dapat diatur melalui UU ataupun PP, tergantung dari fungsi pemerintahan tertentu yang dibebankan pada kawasan tersebut.

Mencermati hal ini, maka ada 2 (dua) aspek krusial sebagai kata kunci yang perlu dicermati dalam penyelenggaraan pemerintahan pada kawasan khusus, yaitu:
pertama, kewenangan dalam penyelenggaraan kawasan khusus, yang akan terkait dengan pembagian urusan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan kewenangan daerah otonom;
kedua, peran dan hubungan pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota dalam mewujudkan tujuan dan sasaran pembentukan kawasan khusus.

Dalam kaitan ini, maka kami akan memfokuskan substansi pembahasan ini pada: “Aspek Hubungan Penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah Special Economic Zone”, dengan harapan agar tulisan ini dapat menjadi bahan masukan bagi kita bersama dalam rangka optimalisasi penyelenggaraan pemerintahan pada kawasan khusus, terutama pada daerah Otorita Batam.

TINJAUAN UMUM (PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DAN URUSAN PEMERINTAH DAN PEMERINTAH DAERAH)

Pokok uraian ini ditujukan dalam rangka menyamakan persepsi dan pemahaman tentang konsep dasar penyelenggaraan urusan pemerintahan menurut UU No. 32 Tahun 2004, yang pada akhirnya diharapkan dapat mendekatkan alur pikir kita terhadap kebijakan penyelenggaraan pemerintahan pada kawasan khusus.

Sesuai dengan UUD Tahun 1945, disebutkan bahwa Presiden memegang kekuasaan pemerintahan, yang selanjutnya dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan tersebut, terdapat pendelegasian kewenangan kepada pemerintah daerah provinsi, daerah Kabupaten, dan Kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Ditegaskan pula bahwa pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintahan Pusat. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Ayat (1), serta Pasal 18 Ayat (2) dan (5).

Sebagai penjabaran UUD Tahun 1945 tersebut, lebih lanjut diatur pada Pasal 10 dan Pasal 11 UU No. 32 Tahun 2004 menyangkut pembagian urusan pemerintahan, dimana ditegaskan bahwa dalam menyelenggarakan urusan yang menjadi kewenangan daerah, pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengurus dan mengatur urusan pemerintahannya diluar yang menjadi urusan Pemerintah. Dengan demikian, ada pembagian urusan antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah.

Pembagian urusan ini didasarkan pada pemikiran bahwa selalu terdapat berbagai urusan pemerintahan yang sepenuhnya/tetap menjadi kewenangan Pemerintah. Disamping itu terdapat bagian urusan pemerintah yang bersifat concurrent, artinya urusan pemerintahan yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu dapat dilaksanakan bersama antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Dengan demikian, dalam setiap urusan yang bersifat concurrent senantiasa ada bagian urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah, ada bagian urusan yang diserahkan kepada Provinsi, dan ada bagian urusan yang diserahkan kepada Kabupaten/Kota.

Untuk mewujudkan pembagian kewenangan yang concurrent secara proporsional antara Pemerintah, Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten dan kota maka disusunlah kriteria yang meliputi: eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan mempertimbangkan keserasian hubungan pengelolaan urusan pemerintahan antar tingkat pemerintahan.

Dalam kaitan pelaksanaan urusan yang bersifat concurrent tersebut, dengan memperhatikan kriteria yang ada, maka dalam rangka pelaksanaan fungsi pemerintahan tertentu yang bersifat khusus bagi kepentingan nasional, Pemerintah dapat menetapkan kawasan khusus dalam suatu wilayah provinsi dan/atau kabupaten/ kota sebagaimana Pasal 9 Ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004.

Kawasan khusus yang dimaksud disini adalah kawasan strategis yang secara nasional menyangkut hajat hidup orang banyak dari sudut politik, sosial, budaya, lingkungan dan pertahanan dan keamanan. Dalam kawasan khusus diselengganakan fungsi-fungsi pemerintahan tertentu sesuai kepentingan nasional. Kawasan khusus dapat berupa kawasan otorita, kawasan perdagangan bebas, dan kegiatan industri dan sebagainya. Salah satu diantaranya adalah Daerah Otorita Batam ini.

TINJAUAN KHUSUS TERHADAP PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN PADA KAWASAN KHUSUS (CONTOH KASUS: KOTA BATAM)

Sehubungan dengan keberdaan kawasan khusus dalam rangka penyelenggaraan fungsi pemerintahan tertentu, maka terdapat beberapa aspek yang perlu dicermati secara lebih lanjut, khususnya menyangkut penyelenggaraan pemerintahan, yang didalamnya mencakup aspek-aspek: kewenangan dan hubungan penyelenggaraan pemerintahan. Untuk lebih mengenal dan memahami karakteristik dan fenomena penyelenggaraan pemerintahan pada kawasan khusus dimaksud, maka akan kami melihat studi kasus yang terjadi pada Daerah Otorita Batam.

Memahami keberadaannya sejak ditetapkan sebagai salah satu daerah zona ekonomi terpadu pada tahun 1970, Kota Batam diarahkan sebagai salah satu pusat pertumbuhan dan pengembangan ekonomi antar negara: Indonesia, Singapore dan Malaysia, disamping perannya sebagai Pusat Pelayanan Utama pada skala Provinsi.

Untuk menjalankan peran sebagaimana diharapkan, melalui Keppres No. 41 Tahun 1973 tentang Daerah Industri Pulau Batam sebagaimana beberapa kali telah diubah, terakhir melalui Keppres No. 25 Tahun 2005, Kota Batam kemudian ditetapkan sebagai sebuah daerah otorita, yang dalam pelaksanaanya dipimpin oleh seorang Ketua Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam (OPDIPB) yang bertanggungjawab kepada Presiden.

Sesuai Keppres tersebut, ada 4 (empat) kewenangan yang menjadi bidang tugas Otorita Batam, yaitu:
a. bidang industri;
b. bidang perdagangan;
c. bidang alih kapal; dan
d. bidang pariwisata;

Sejalan dengan reformasi penyelenggaraan pemerintahan, sebagai kawasan khusus, keberadaan Daerah Otorita Batam ini adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pemerintahan tertentu, yang sesuai pengaturan UU No. 32 Tahun 2004 perlu diatur lebih lanjut, paling tidak oleh setingkat PP.

Disisi lain, dengan keberadaan posisi strategis yang dipicu dengan peningkatan pada leading sektor industri, keberadaan Kota Batam mengalami tingkat kemajuan yang cukup pesat, dengan segala dampak ikutannya secara lebih kompleks, sehingga diharapkan dapat diurus dan diatur oleh tingkat pemerintahan daerah tersendiri. Berdasarkan UU No. 53 Tahun 1999, Kota Batam kemudian ditingkatkan statusnya menjadi sebuah daerah otonom. Dengan demikian, daerah ini tentunya memiliki susunan Pemerintahan Daerah selayaknya daerah otonom lainnya, yang oleh UU memiliki kewenangan yang luas untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan daerahnya.

Terkait dengan kondisi tersebut, sebagaimana 2 (dua) aspek krusial/kata kunci yang kami maksudkan pada pengantar tulisan ini, maka hal-hal yang perlu dicermati terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan pada Kota Batam sebagai daerah otonom dan Daerah Otorita, adalah mencakup aspek-aspek:

a. Penyelenggaraan kewenangan, dimana di dalamnya terdapat:
- Kewenangan Pemerintah Kota Batam sebagai daerah otonom dengan segala kapasitasnya dalam menyelenggaraan urusan pemerintahan untuk skala kota.
- Kewenangan Pemerintah Provinsi Kepri sebagai daerah otonom dengan segala kapasitasnya dalam menyelenggaraan urusan pemerintahan skala provinsi.
- Kewenangan Otorita Batam sebagai wakil Pemerintah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan tertentu, khususnya untuk 4 (empat) bidang kewenangan sebagaimana telah disebutkan di atas.

b. Implementasi pelaksanaan urusan, yang dapat mencerminkan hubungan antara ketiga lembaga pemerintahan tersebut, yang pada akhirnya akan menentukan keberhasilan pencapaian tujuan dan sasaran pembentukan Daerah Otorita Batam sebagai kawasan khusus.

HUBUNGAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DI DAERAH SPECIAL ECONOMIC ZONE

Sehubungan dengan gambaran di atas, maka pada bagian ini akan dijelaskan beberapa pertimbangan yang cukup mendasar untuk merumuskan hubungan penyelenggaraan pemerintahan di daerah special economic zone, dengan fokus pada studi kasus Kota Batam.

Terhadap aspek penyelenggaraan kewenangan, maka kita harus melihat hal ini secara penuh kearifan dengan mempertimbangkan berbagai aspek lainnya, baik secara normatif maupun kondisi obyektif, yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
- Dalam kapasitasnya sebagai daerah otonom, Pemerintah Kota Batam memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus segala urusannya sebagaimana telah diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004. Dalam kewenangannya tersebut, terdapat pula kewenangan Pemerintah Provinsi Kepri yang bersifat urusan lintas kabupaten/kota.
- Guna mempercepat pembangunan di Batam yang memiliki nilai komparatif, letak strategis, dan keunggulan kompetitif, maka jauh sebelum terbentuknya Pemerintah Kota Batam yang bersifat otonom, Pemerintah telah menetapkan Batam sebagai salah satu kawasan khusus, yang diselenggarakan oleh suatu lembaga otorita.

Dalam kapasitas tersebut, ketiga lembaga pemerintahan ini memiliki kewenangan masing-masing untuk menjalankan urusannya. Hal inilah yang perlu didudukkan secara proporsional dengan pertimbangan utama kepada kepentingan nasional dan daerah.

Sejalan dengan akan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah pengganti PP No. 25 Tahun 2000, dimana secara lebih jelas dan terinci serta realistis diuraikan kewenangan masing-masing tingkatan pemerintahan di masing-masing bidang, seperti :

a. Bidang perindustrian yang terdiri atas 17 sub bidang, yaitu: (1) perizinan, (2) usaha industri, (3) fasilitas usaha industri, (4) pertimbangan usaha industri, (5) perencanaan dan program, (6) pemasaran, (7) teknologi, (8) standarisasi, (9) sumberdaya manusia, (10) permodalan, (11) lingkungan hidup, (12) kerjasama industri, (13) kelembagaan, (14) sarana dan prasarana, (15) informasi industri, (16) pengawasan industri, dan (17) monitoring, evaluasi, dan pelaporan.

b. Bidang perdagangan terdiri atas 5 sub bidang, yaitu: (1) perdagangan dalam negeri, (2) perdagangan luar negeri, (3) kerjasama perdagangan internasional, (4) pengembangan ekspor nasional, (5) perdagangan berjangka komoditi, alternatif pembiayaan sistem resi gudang, pasar lelang.

c. Sub bidang pariwisata terdiri atas 8 urusan pemerintahan, yaitu: (1) penetapan kebijakan, (2) pemberian izin usaha, (3) fasilitasi kerjasama internasional pengembangan destinasi pariwisata, (4) fasilitasi kerjasama pengembangan destinasi pariwisata, (5) monitoring dan evaluasi pengembangan pariwisata, (6) pelaksanaan promosi skala nasional, Prov, antar Kab/kota, lokal, (7) pengembangan sistem informasi pemasaran, (8) penetapan branding pariwisata.
Maka hubungan pemerintahan antara Otorita Batam, Pemerintah Provinsi Kepri, dan Pemerintah Kota Batam dapat diurut secara bertahap, dimulai dari rincian urusan yang harus ditangani oleh masing-masing lembaga pemerintahan tersebut sesuai peraturan perundang-undangan, dengan menempatkan UU No. 32 Tahun 2004 dan PP penangganti PP No. 25 Thun 2000 yang sebentar lagi keluar sebagai batu penjuru.

Atas dasar rincian tersebut, dapat dilakukan pemilahan terhadap urusan-urusan yang menjadi kewenangan otonom Pemerintah Kabupaten/Kota dan Pemerintah Provinsi, serta yang menjadi urusan tertentu yang dilaksanakan oleh Pemerintah pada kawasan khusus tersebut dengan meletakkan Otorita Batam sebagai aktor utama dalam pengembangan kawasan yang di dalamnya berlangsung penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota.

Menutup tulisan ini, penulis mempunyai harapanan besar untuk terciptanya hubungan yang saling sinergis antara Otorita Batam, Pemerintah Provinsi Kepri, dan Pemerintah Kota Batam dalam penyelenggaraan pemerintahan di kawasan khusus.

Disusun bersama oleh:
H. Tursandi Alwi & Mohammad Noval Labadjo
Sebagai materi FGD tentang “Efektifitas Penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah Spesial Economic Zone” di Batam, 15 Juni 2006


MEMBANGUN KABUPATEN DONGGALA DALAM PERSPEKTIF GOOD GOVERNANCE


A. PENGANTAR
Mencermati judul tulisan: ”Membangun Kabupaten Donggala Dalam Perspektif Good Governance”, maka ada 2 (dua) kata kunci yang dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. Membangun Kota Donggala:

Membangun atau melakukan pembangunan Kota Donggala mempunyai makna proses yang dilakukan secara ”sadar” untuk membentuk dan menciptakan perubahan fisik (lahiriah) dan nonfisik (batiniah) dalam mencapai kesejahteraan atau kualitas hidup manusia di Kabupaten Donggala.

Pembangunan bukan hanya ditujukan bagi kesejahteraan atau kualitas hidup generasi masa kini, tetapi juga bagi generasi yang akan datang. Hal ini mengisyaratkan perlunya memperhatikan dan menjaga keseimbangan sumber daya yang tersedia untuk dapat dimanfaatkan secara bijaksana.

Jika pembangunan dianalisa lebih lanjut terlihat beberapa ide pokok:
- Pembangunan adalah suatu proses.
- Pembangunan merupakan usaha yang secara sadar dilaksanakan.
- Pembangunan dilaksanakan secara berencana.
- Pembangunan mengarah ke modernitas.
- Modernitas yang dicapai melalui pembangunan itu melalui multi dimensional.
- Ditujukan kepada membina bangsa (Nation Building).

Di sisi lain, dalam konteks lingkungan strategis bangsa saat ini, proses pembangunan tidak terlepas dari prinsip otonomi daerah yang seyogianya diselenggarakan secara nyata dan bertanggungjawab, sesuai dengan potensi dan kebutuhan daerah, serta diarahkan dalam rangka mensejahterakan masyarakatnya. Hal ini sebagaimana diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Kemandirian ini tentunya harus dibarengi dengan kemampuan dan kearifan dalam menetapkan berbagai kebijakan secara berkualitas, yakni:
- mampu mendorong peningkatan pembangunan daerah dan kesejahteraan masyarakat secara luas;
- me-minimalisir ekses negatif yang dapat merugikan masyarakat atau pihak-pihak tertentu.

Hal ini perlu ”ditangkap” sebagai sebuah peluang besar untuk membangun daerah secara lebih aspiratif, inovatif dan berdaya saing. Melalui otonomi tersebut, diharapkan mampu meningkatkan ”kreasi” daerah dalam menyusun kebijakan-kebijakan secara lebih mem-bumi berdasarkan skala prioritas yang dibutuhkan, serta meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.

2. Good Governance (Tata pemerintahan yang baik):

Governance, yang diterjemahkan menjadi tata pemerintahan, adalah penggunaan wewenang ekonomi, politik dan administrasi guna mengelola urusan-urusan negara pada semua tingkat. UN Commission on Human Settlements (1996) menjelaskan bahwa governance adalah kumpulan dari berbagai cara yang diterapkan oleh individu warga negara dan para lembaga baik pemerintah maupun swasta dalam menangani kepentingan-kepentingan umum mereka.

Lebih lanjut World Bank mendidefinisikan tata pemerintahan yang baik adalah suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi, dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and political framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha.

Perwujudan good governance hanya akan tercapai apabila terjadi keseimbangan peran antara 3 (tiga) pilar utama, yaitu: Pemerintah, Swasta, dan Masyarakat. Namun demikian, peran para Penyelenggara Pemerintahan/Government, khususnya Eksekutif (Pemerintah) tetap menjadi titik sentral yang mengkondisikan terciptanya lingkungan strategis kepemerintahan yang seimbang.

Paling tidak, good governance merupakan suatu konsepsi yang memuat tentang penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, demokratis, dan efektif. Selain sebagai suatu konsepsi tentang penyelenggaraan pemerintahan, hal ini juga merupakan suatu gagasan dan nilai untuk mengatur pola hubungan antara pemerintah, dunia usaha swasta, dan masyarakat.

Kunci utama memahami Tata Pemerintahan Yang Baik adalah pemahaman atas prinsip-prinsip di dalamnya. Bertolak dari prinsip-prinsip ini akan didapatkan tolak ukur kinerja suatu pemerintahan. Baik-buruknya pemerintahan bisa dinilai bila ia telah bersinggungan dengan semua unsur prinsip-prinsip ini. Setidaknya terdapat 10 (sepuluh) prinsip Tata Pemerintahan yang Baik. Prinsip-prinsip tersebut yaitu: Partisipasi, Penegakan Hukum, Transparansi, Kesetaraan, Daya Tanggap, Wawasan ke Depan, Akuntabilitas, Pengawasan, Efisiensi & Efektifitas, dan Profesionalisme. Pelaksanaan yang konsisten terhadap prinsip-prinsip tersebut diharapkan dapat lebih mendekatkan masyarakat akan sebuah pelaksanaan Tata Pemerintahan yang Baik.
Sehubungan dengan beberapa pengertian di atas, bila dikaitkan dengan upaya Pemerintah Daerah dalam membangun Kabupaten Donggala ke depan, maka hal ini dapat bermakna: langkah-langkah dan kebijakan strategis yang diperlukan dalam rangka melakukan perubahan secara terencana dan terpadu melalui koridor dan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik.

B. KEBIJAKAN STRATEGIS

Kebijakan strategis disini akan menguraikan tentang hal-hal mendasar yang perlu dilakukan dalam rangka membangun Kabupaten Donggala secara realistis sesuai dengan prinsip-prinsip good governance. Realistis yang dimaksud disini adalah pembangunan yang lebih berorientasi pada potensi dan sumberdaya lokal, dengan memanfaatkan segenap kapasitas dan kemampuan yang dimiliki oleh Daerah.

Dalam konteks ini, prioritas perencanaan program dan kegiatan yang merupakan turunan dari masing-masing kebijakan strategis tersebut dapat dilakukan secara mem-bumi (realistis), efektif, efisien atau tidak hanya menjadi “jargon/slogan” semata. Dengan harapan agar perencanaan dan pelaksanaan program tidak hanya sebatas untuk memenuhi target output (hasil), namun juga berorientasi pada target outcome (manfaat), yang tentunya dapat dirasakan oleh segenap lapisan masyarakat.

Beberapa indikasi kebijakan strategis yang menjadi prioritas untuk dilakukan Pemerintah Kabupaten Donggala, khususnya dalam periode jangka menengah dan jangka pendek, antara lain:

1. Penguatan Kelembagaan dan Sumberdaya Aparatur Pemda
Kebijakan ini lebih bersifat perbaikan dan pembenahan internal dalam tubuh Pemerintah Kabupaten Donggala, yang diarahkan dalam rangka penataan sistem birokrasi dan manajemen pemerintah daerah secara lebih efektif, efisien dan optimal. Pada akhirnya hal ini diharapkan mampu meningkatkan kinerja dan kualitas pelayanan umum kepada masyarakat.
Kebijakan ini akan memuat dan menjabarkan lebih lanjut substansi antara lain:
- Penataan kelembagaan dan ketatalaksanaan;
- Penataan personil;
- Koordinasi antar lembaga;
- Pendidikan dan pelatihan aparatur;
- e-Government; dsb.

2. Peningkatan Pelayanan Dasar dan Penanggulangan Kemiskinan
Kebijakan ini diarahkan dalam rangka memenuhi kebutuhan dan pelayanan dasar masyarakat. Selain sudah sebagai kewajiban pemerintah daerah, pelayanan dan pemenuhan kebutuhan dasar ini diperlukan untuk memperbaiki kualitas dan akses terhadap pelayanan dasar yang telah ada saat ini.
Kebijakan ini akan memuat dan menjabarkan lebih lanjut substansi antara lain:
- Sarana dan pelayanan kesehatan;
- Sarana dan pelayanan pendidikan;
- Sarana dan prasarana dasar lainnya (air bersih, sanitasi, dll);
- Penanganan kasus wabah penyakit/gizi buruk;
- Pengentasan kemiskinan; dsb.

3. Penguatan Kelembagaan dan Partisipasi Masyarakat
Kebijakan ini diarahkan dalam rangka pemberdayaan dan peningkatan peran masyarakat dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan pembangunan. Kebijakan ini juga diarahkan dalam rangka menciptakan interaksi sosial, ekonomi, dan politik, yang menjamin terselenggaranya suasana pembangunan secara lebih kondusif dan terarah.
Kebijakan ini akan memuat dan menjabarkan lebih lanjut substansi antara lain:
- Pembinaan masyarakat dan organisasi kemasyarakatan;
- Partisipasi dan pemberdayaan masyarakat dan organisasi kemasyarakatan;
- Pelibatan sektor swasta;
- Pengarusutamaan gender;
- Fasilitasi dan pembinaan seni dan budaya daerah; dsb.

4. Penguatan Aktifitas dan Pengembangan Sektor-Sektor Ekonomi Strategis
Kebijakan ini diarahkan dalam rangka memacu pertumbuhan ekonomi daerah secara lebih ter-fokus dan optimal, yang pada akhirnya mampu membuka berbagai peluang investasi/bisnis, peningkatan lapangan kerja, yang pada akhirnya diharapkan mampu meningkatkan pendapatan daerah, masyarakat, dan dunia usaha.
Kebijakan ini akan memuat dan menjabarkan lebih lanjut substansi antara lain:
- Revitalisasi dan peningkatan infrastuktur ekonomi produktif;
- Pengembangan aktifitas ekonomi potensial;
- Pengembangan aktifitas ekonomi kerakyatan;
- Promosi dan pemasaran;
- Penataan kebijakan yang mendorong pertumbuhan ekonomi & dunia usaha; dsb.

5. Penguatan Aspek-aspek Perencanaan, Pelaksanaan, dan Pengawasan Program dan Anggaran, serta Sistem Penataan Ruang
Kebijakan ini diarahkan dalam rangka peningkatan kualitas perencanaan dan pelaksanaan program dan kegiatan, serta mendorong terciptanya efisiensi, efektifitas, dan optimalisasi pemanfaatan anggaran. Sejalan dengan itu, aspek pengawasan program dan anggaran menjadi salah satu faktor kunci dalam rangka pencapaian sasaran output dan outcome sesuai yang diharapkan. Adapun penyertaan sistem penataan ruang dalam kebijakan ini dimaksudkan sebagai satu kesatuan rumpun dalam perumusan program dan anggaran yang juga perlu dipriortaskan dari aspek perencanaan, pelaksanaan, maupun pengawasannya.
Kebijakan ini akan memuat dan menjabarkan lebih lanjut substansi antara lain:
- Koordinasi perencanaan program dan anggaran
- Peran masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan
- Tindak lanjut hasil pengawasan

C. PENUTUP
Demikian beberapa hal yang dapat kami sampaikan sebagai pengembangan wacana dalam rangka pemberdayaan peran dan fungsi penelitian dan pengembangan di daerah. Pembangunan tidak dapat tercapai jika hanya dibebankan pada salah satu pihak saja (Pemerintah Daerah). Pembangunan dapat tercapai hanya jika terjadi keseimbangan peran dan saling membutuhkan antara 3 (tiga) pilar sebagaimana dimaksud dalam good governance (Pemerintah, Swasta, dan Masyarakat).

Ditulis Oleh:
Ir. MOHAMMAD NOVAL LABADJO